Saham Bank Digital Makin Kinclong, Layak Dikoleksi untuk Investasi?

27 Juli 2021 17:14 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Mobile Banking. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Mobile Banking. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Kalimat di atas menjadi salam pembuka bagi pengguna Aplikasi Bank Jago. Bank kecil yang dulunya hanya memiliki modal di bawah Rp 1 triliun, kini naik kelas menjadi bank buku II atau modal inti di antara Rp 1-5 triliun setelah bertransformasi menjadi bank digital pada tahun 2019 silam.
ADVERTISEMENT
Perjalanan Bank Jago menuju ekosistem digital diikuti laju harga saham yang melambung melampaui bank-bank buku IV dengan torehan laba moncer setiap tahunnya. Padahal, Bank Jago sendiri masih menderita kerugian Rp 47 miliar sepanjang semester I 2021.
Mengacu pada RTI per hari ini, harga saham Bank Jago berada di level Rp 17.400 per lembar saham atau lebih tinggi dibanding Bank BRI Rp 3.800 per lembar saham, dan Bank Mandiri Rp 5.825 per lembar saham.
Lalu, apakah harga saham bank digital yang tinggi layak untuk dikoleksi sebagai investasi?
Menanggapi fenomena larisnya saham-saham bank digital, Analis Central Capital Futures Wahyu Laksono menilai investor ritel mengalami fase fear of missing out (FOMO) atau suatu kondisi di mana seseorang takut dikatakan tidak update, tidak gaul, dan takut ketinggalan jika tidak membeli saham bank digital.
ADVERTISEMENT
“FOMO ada waktunya. Nanti dia kalah juga kok,” katanya kepada kumparan, Selasa (27/7).
Menurutnya, saat akan membeli saham bank digital yang perlu dilihat nilai valuasi aset. Hal ini berguna untuk melihat seberapa jauh pengambilan keputusan yang akan dilakukan perusahaan. Seperti jual-beli saham perusahaan, akuisisi, dan asuransi aset.
Sementara itu, Pengamat Perbankan dari Indonesia Banking School (IBS) Batara Simatupang mengatakan, indikator lain yang perlu diperhatikan dalam membeli saham perbankan yaitu basis nasabah yang besar.
“Kenaikan harga saham tidak mengindikasikan secara langsung baik buruknya suatu bank digital,” tegasnya.
Ilustrasi investasi di pasar saham. Foto: Shutter Stock
Direktur Asosiasi Riset dan Investasi Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus menjelaskan kepada kumparan mengenai penyebab tingginya harga saham bank digital, seperti Bank jago.
ADVERTISEMENT
Pria yang akrab dipanggil Nico ini mengatakan, pandemi COVID-19 telah mengubah pola bisnis konvensional. Makin masifnya sektor teknologi membuat sektor bank digital tak boleh lagi diremehkan.
“Memang ini salah satu sektor (teknologi) yang kerap dipandang sebelah mata. Sampai COVID-19 memaksa kita mulai menggunakan teknologi,” katanya Selasa (27/7).
Nico tak mengelak ada pengaruh kuat investor di balik melejitnya harga saham bank dengan logo huruf J ini. Kedua investor tersebut yaitu Gojek dan Tokopedia. PT Dompet Karya Anak Bangsa atau Gojek menggenggam 21,40 persen.
Kedua investor memiliki basis pengguna lebih dari 150 juta orang setiap harinya untuk transaksi. Dengan jaringan mitra usaha serta mitra driver, Grup GoTo memiliki total Gross Transaction Value (GTV) lebih dari USD 22 miliar per tahun 2020.
ADVERTISEMENT
“Begitu implementasi GoTo selesai,” jelasnya singkat.
Menurutnya, tidak semua bank yang mengadopsi embel-embel digital bakal bisa bersaing. Salah satu hal yang membedakan Bank Jago dengan yang lainnya yaitu ihwal ekosistem bisnis yang rapi dari kedua investor tersebut.
“Kalau cuma perubahan bank digital aja semua bisa. Jadi, semua kembali lagi ini bukan serta-merta menjadi bank digital,” ungkapnya.