Sama dengan SBY, Jokowi Genjot Biodiesel saat Rupiah Tertekan Dolar AS

9 Juli 2018 17:27 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jokowi menerima kunjungan SBY di istana. (Foto: Biro pers istana)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi menerima kunjungan SBY di istana. (Foto: Biro pers istana)
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo (Jokowi) hari ini mengadakan rapat terbatas di Istana Bogor untuk menyiapkan langkah-langkah dalam menghadapi nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) yang terus menguat terhadap rupiah.
ADVERTISEMENT
Salah satu kebijakan yang akan diambil adalah mengembangkan barang-barang substitusi impor. Dengan begitu, impor barang-barang yang menguras devisa dapat dikurangi.
Misalnya untuk menekan impor bahan bakar minyak (BBM), Jokowi meminta agar penggunaan biodiesel kelapa sawit untuk campuran BBM ditingkatkan. Program mandatori biodiesel 20% (B20) yang sekarang sudah dijalankan bakal ditingkatkan hingga 30% (B30).
"Bapak Presiden sampaikan terkait dengan biodiesel, di mana penggunaan biodiesel 20% (B20) sekaligus dikaji penggunaan biodiesel ke 30% (B30), karena itu akan meningkatkan konsumsi dari biodesel sebesar 500 ribu ton per tahun. Ini yang diminta Bapak Presiden dibuatkan kajiannya," ujar Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto saat ditemui di Istana Bogor, Senin (9/7).
Penggunaan biodiesel untuk menekan impor minyak sudah dilakukan sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat itu kewajiban penggunaan biodiesel untuk campuran BBM tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga BBN (Biofuel).
ADVERTISEMENT
Isinya mewajibkan peningkatan pemanfaatan biodiesel di sektor transportasi, industri, komersial dan pembangkit listrik. Kebijakan tersebut juga dibuat SBY ketika dolar AS sedang sangat perkasa pada September 2013.
Selain itu, mendorong pengembangan industri substitusi impor, langkah-langkah lain yang ditempuh untuk menghadapi penguatan dolar AS adalah pemberian insentif untuk menggenjot ekspor dan UMKM, penyederhanaan perizinan investasi, hingga memaksimalkan sektor pariwisata untuk mendulang devisa.
"Kemudian antisipasi lanjutnya memaksimalkan untuk pariwisata, tentunya perkembangan airport dan kemudian pengembangan low cost carrier (LCC), sehingga pariwisata ini adalah salah satu sektor yang cepat yang bisa digenjot, tutupnya.