Saran Apindo Agar Rupiah Tak Lagi Melemah

22 Januari 2025 14:42 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang petugas menunjukan pecahan Dolar AS dan Rupiah di salah satu tempat penukaran mata uang asing di Kwitang, Jakarta, Senin (9/12/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Seorang petugas menunjukan pecahan Dolar AS dan Rupiah di salah satu tempat penukaran mata uang asing di Kwitang, Jakarta, Senin (9/12/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mendapat sorotan dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Pada Rabu (22/1) pukul 14.30 WIB, nilai tukar rupiah ada di Rp 16.315 per dolar AS.
ADVERTISEMENT
Analis Kebijakan Ekonomi Apindo, Ajib Hamdani, menilai tukar ini kurang ideal dibandingkan dengan target sesuai Kerangka Ekonomi Makro Tahun 2025, senilai Rp 16.000 per dolar AS.
Ajib mengatakan pelemahan nilai tukar ini dipengaruhi oleh faktor eksternal hingga ekonomi domestik. Faktor eksternal, terutama karena pergantian kepemimpinan Presiden Donald Trump yang akan fokus dengan penguatan ekonomi domestik Amerika Serikat.
"Termasuk kemungkinan pengurangan pajak perusahaan Amerika, peningkatan investasi domestik dan juga potensi kenaikan tarif barang impor ke Amerika. Hal ini bisa mempengaruhi neraca dagang Indonesia-Amerika yang pada tahun 2024 Indonesia mengalami surplus lebih dari USD 11 miliar," kata Ajib melalui keterangan tertulis, Rabu (22/1).
Faktor internal atau faktor ekonomi domestik juga turut memberikan dampak terhadap pelemahan rupiah. Sebut saja, program jangka panjang transformasi ekonomi yang mendorong hilirisasi, jangka pendek akan memberikan kontraksi ekspor bahan baku mentah.
ADVERTISEMENT
"Faktor keuangan negara di mana tahun 2025 jatuh tempo utang mencapai lebih dari Rp 800 triliun. Hal ini akan memberikan tekanan terhadap kebijakan fiskal yang akan kembali defisit," ujar Ajib.
Ajib menegaskan pelemahan nilai tukar rupiah ini akan memberikan imbas terhadap sektor privat dan terhadap keuangan negara. Di sektor privat akan berpengaruh terhadap barang-barang dan bahan baku impor. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan bauran kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan kebijakan ekonomi untuk mendorong penguatan nilai tukar rupiah.
Ajib menjelaskan untuk kebijakan fiskal idealnya pemerintah perlu menekan defisit, utamanya dengan efisiensi belanja dan prioritas program yang memberikan daya ungkit ekonomi.
"Tapi, memang, ruang fiskal pemerintah begitu terbatas dan sempit, akibat scaring effect pandemi. Pemerintah harus menerapkan filosofi spending better, bukan better spending. Sehingga belanja fiskal menjadi lebih berkualitas," terang Ajib.
ADVERTISEMENT
Sedangkan dari sisi kebijakan moneter, Bank Indonesia (BI) mengalami kondisi yang menurut Ajib dilematis. Pasalnya, untuk penguatan nilai tukar, secara teoritik, BI seharusnya meningkatkan suku bunga acuan, agar terjadi capital inflow dan banyak uang asing masuk ke perekonomian Indonesia.
Namun, kata Ajib, BI lebih memilih mengeluarkan kebijakan moneter dengan menurunkan tingkat suku bunga acuan. Menurutnya, hal itu memperlihatkan BI lebih memilih untuk fokus dengan penguatan ekonomi dalam negeri dan menjaga daya beli masyarakat.
"Karena penurunan tingkat suku bunga acuan ini akan mengurangi cost of fund pendanaan dalam negeri dan juga mendorong konsumsi lebih bergairah," ujar Ajib.
Selanjutnya, Ajib mendorong pemerintah untuk fokus dengan kebijakan ekonomi pro dengan penguatan nilai tukar rupiah. Kerja sama bilateral harus lebih diperkuat dan mengoptimalkan transaksi dengan mata uang lokal.
ADVERTISEMENT
"Kemudian kerja sama dengan negara-negara yang tergabung di BRICS menjadi peluang, selain akses perluasan pasar, juga untuk mendatangkan investasi," ungkap Ajib.
Ajib menekankan kebijakan itu harus dilaksanakan pemerintah di tengah ada target yang ambisius dengan mendatangkan investasi tidak kurang dari Rp 13 ribu triliun dalam waktu 5 tahun ke depan.
Kebijakan berikutnya yang masih menuai pro kontra adalah penempatan Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang berlaku mulai 1 Maret 2025, masa retensinya menjadi 1 tahun.
"Biar enggak mengalami kontraksi ekonomi dan kontraproduktif terhadap investasi, pemerintah harus mengimbangi dengan insentif yang tepat dan mengakomodir masukan dari seluruh stakeholder," tutur Ajib.
Dia memandang jika pemerintah bisa fokus pada bauran kebijakan-kebijakan yang pro dengan ekonomi dalam negeri dan membuat kebijakan jalan tengah yang tepat sasaran, rupiah bakal bisa menguat dalam jangka menengah sampai akhir 2025.
ADVERTISEMENT