Sawit Watch Mau Pemilik Kebun Sawit di Kawasan Hutan Dipidana

25 Agustus 2023 17:35 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pohon keramat di antara lahan kebun kelapa sawit. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pohon keramat di antara lahan kebun kelapa sawit. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Sawit Watch berharap pemilik kebun sawit yang masuk kawasan hutan diberikan sanksi pidana, bukan cuma sanksi administratif seperti yang diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.
ADVERTISEMENT
Saat ini, terdapat 3,3 juta hektar sawit yang masuk dalam kawasan hutan. Melalui Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja (UUCK), 3,3 juta lahan sawit tersebut bisa menjadi legal alias diputihkan.
"Ketika kita tahu bahwa dilakukan penanaman sawit di kawasan hutan harusnya mendapatkan sanksi berupa pidana seperti yang diatur dalam kebijakan sebelum diubah UUCK, namun dengan UUCK kini hanya sebatas sanksi administratif saja. Ini sangat kami sayangkan," kata Kepala Departemen Kampanye, Kebijakan Publik dan Riset Sawit Watch, Hadi kepada kumparan, Kamis (24/8) malam.
"Ini lah yang kami sebut dari hitam menjadi putih, artinya bahwa yang dulunya ini merupakan pelanggaran (hitam) malah diputihkan dengan pengampunan berupa proses penyelesaian melalui sanksi administratif," lanjut Hadi.
ADVERTISEMENT
Hadi memberikan contoh penanganan kasus kebun sawit di kawasan hutan yang semestinya, misalnya di Kawasan Hutan Register 40 di Padang Lawas. Di sana ada kawasan hutan yang dikuasi oleh perusahaan sawit milik DL Sitorus. Di kasus tersebut, salah satu putusan Mahkamah Agung adalah perusahaan diberikan waktu satu siklus tanam sawit, kemudian diwajibkan menghutankan lahan itu kembali.
"Ia juga diketahui mendapatkan sanksi pidana dengan dihukum penjara. Ini contoh baik penegakan hukum kasus sawit dalam kawasan hutan. Pengampunan sawit melalui UUCK mengabaikan proses-proses seperti ini. Terkesan sebagai cara pemerintah memaafkan pelanggaran yang dilakukan sejak lama," kata dia.

Tumpang Tindih Regulasi

HGU dan kawasan hutan sebenarnya adalah dua domain hukum berbeda di mana HGU diatur dalam UU Agraria sementara kawasan hutan diatur dalam UU Kehutanan.
ADVERTISEMENT
Dua-duanya punya otoritas berbeda, HGU diatur oleh Kementerian ATR/BPN, sementara kawasan hutan diatur oleh Kementerian KLHK. Dalam pasal 28 ayat 1 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-pokok Agraria, disebutkan bahwa HGU adalah Hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Kemudian terbit Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Atas Tanah. Dengan terbitnya beleid tersebut pengaturan HGU diperluas sampai menyasar kawasan hutan, HGU bisa didapatkan dengan syarat terlepas dari kawasan hutan.
Timpang tindih regulasi ini yang kemudian menjadi dasar pelaku usaha kurang sepakat dengan narasi pemutihan lahan sawit melalui UUCK.
"Untuk itu kami berpandangan jika memang pihak perusahaan merasa bahwa pemerintah melakukan kesalahan dengan penetapan tersebut dan merasa dirugikan atas hal ini, kenapa tidak membawa saja proses ini ke ranah hukum. Sehingga perdebatannya akan lebih jelas. Akan dibuktikan secara hukum secara terang benderang. Dan akan ada kepastian hukum yang diterima atas proses ini. Kami usul seperti itu," kata Hadi.
ADVERTISEMENT

Pengusaha Tolak Istilah Pemutihan

Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono. Foto: Muhammad Darisman/kumparan
Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono meluruskan narasi beredar yang menyebut 3,3 juta hektare sawit di kawasan hutan akan diputihkan alias dilegalkan.
"Memang kami merasa prihatin dengan narasi yang ada, bahwa 3,3 juta hektare diputihkan. Yang terjadi kan bukan seperti itu," kata Eddy saat Workshop Wartawan GAPKI di Bandung, Rabu (23/8).
Menurut Eddy, masalahnya justru ada di timpang tindih regulasi yang mengatur HGU dan kawasan hutan ini. Eddy mengatakan pihaknya telah meminta Kementerian ATR/BPN sebagai instansi yang memiliki wewenang dalam pengaturan HGU.
"Yang terjadi adalah justru HGU yang 3,3 juta itu masuk ke dalam kawasan hutan. Bahkan yang SHM plasma kita pun masuk ke kawasan hutan, padahal itu sudah dari zaman Pak Harto," tegas dia.
ADVERTISEMENT