SDM Tertinggal Masifnya Hilirisasi, Ekonom: Waspada Lapangan Kerja Diserbu Asing

24 Februari 2024 20:03 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah Tenaga Kerja Asing (TKA) berjalan di pasar yang berada di depan sebuah perusahaan smelter, Kecamatan Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara, Rabu (8/2/2023).  Foto: Jojon/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah Tenaga Kerja Asing (TKA) berjalan di pasar yang berada di depan sebuah perusahaan smelter, Kecamatan Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara, Rabu (8/2/2023). Foto: Jojon/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudistira, memberi alarm bagi pemerintah Indonesia untuk meningkatkan SDM dalam negeri, seiring dengan gencarnya hilirisasi tambang yang dimulai Presiden Jokowi.
ADVERTISEMENT
Pasalnya, hilirisasi pertambangan yang dimulai Presiden Jokowi ini membuat investasi yang masuk dalam negeri beralih ke investasi sektor padat modal, yang mana itu tidak bisa menyerap lapangan kerja sebesar investasi dari padat karya.
"Iya karena sifatnya padat modal maka yang dibutuhkan adalah SDM dengan keahlian tinggi atau skilled labor. Kalau tidak siap yang akan isi TKA (Tenaga Kerja Asing). Ini jadi warning bahwa masalah perubahan tren jenis investasi belum disertai kesiapan SDM dalam negeri," kata Bhima kepada kumparan, Sabtu (24/2).
Dari data Kementerian Investasi/BKPM, rasio serapan tenaga kerja dari realisasi investasi di Indonesia dalam 10 tahun menunjukkan tren penurunan tajam. Tahun 2013, dari Rp 1 triliun investasi bisa menyerap 4.591 tenaga kerja. Sedangkan di 2023, Rp 1 triliun investasi hanya bisa serap 1.285 tenaga kerja.
ADVERTISEMENT
Alhasil, meningkatnya investasi yang masuk Indonesia belum tentu menyerap semakin banyak tenaga kerja. Misalnya tahun 2014 ketika hilirisasi nikel belum dimulai. Saat itu realisasi investasi RI mencapai Rp 463,1 triliun dan menyerap 1.426.557 tenaga kerja. Setelah hilirisasi nikel dimulai, pada 2021 investasi melonjak menjadi Rp 901 triliun, tapi hanya menyerap 1.207.893 tenaga kerja.
Presiden Joko Widodo memberikan arahan saat groundbreaking proyek hilirisasi batu bara menjadi Dimetil Eter (DME) di Kawasan Industri Tanjung Enim, Sumatera Selatan, Senin (24/1/2022). Foto: Nova Wahyudi/Antara Foto
Bhima menjelaskan, ada beberapa penyebab investasi beralih ke padat modal, sehingga kualitas serapan tenaga kerjanya rendah. Salah satunya, investor lebih banyak masuk ke sektor berbasis SDA di mana tren serapan kerja hanya naik pada saat fase konstruksi pabrik dan tambang.
"Contohnya, hasil temuan Celios di industri smelter nikel menunjukkan serapan kerja pada 5 tahun pertama proses land clearing dan pembangunan fasilitas pabrik menyerap banyak tenaga kerja, setelah beroperasi cenderung melandai," kata Bhima.
ADVERTISEMENT
Hilirisasi Bukan Demi Serap Tenaga Kerja
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, agenda hilirisasi pemerintah memang tidak difokuskan untuk penciptaan kerja seperti di sektor padat karya.
"Tapi pada penciptaan nilai tambah atas komoditas mentah yang diciptakan Indonesia. Jadi sebetulnya bila investasi hilirisasi yang ada sejauh ini tidak menciptakan penyerapan tenaga kerja yang tinggi, ini tidak bisa dianggap sebagai kegagalan agenda hilirisasi. Karena memang tujuan utamanya bukan itu," kata Shinta.
Namun dia menilai bahwa hilirisasi di Indonesia akan bisa menyerap tenaga kerja yang semakin besar bila investasi hilirisasi yang dilakukan semakin mencakup seluruh rantai produksi barang bernilai tambah.
Chair of B20 Indonesia, Shinta Widjaja Kamdani. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Artinya, kata Shinta, kalau ingin penyerapan tenaga kerjanya besar, investasi hilirisasi tidak bisa hanya berhenti di sektor hulu manufaktur seperti pemurnian dan pengolahan komoditas mentah menjadi industrial goods dan barang setengah jadi atau semi processed, tapi harus sampai ke hilir manufaktur atau consumer product manufacturing.
ADVERTISEMENT
"Semakin investasi hilirisasi terkonsentrasi di sektor hulu industri seperti yang terjadi sejauh ini, ya sudah sewajarnya pekerja yang bisa diserap lebih terbatas dan pekerja yang mampu diserap secara dominan pun adalah pekerja yang skilled workers, bukan yang unskilled," kata Shinta.
60 Persen Pekerja RI Lulusan SMA
Bila investasi ingin memberikan kontribusi yang lebih besar pada penyerapan tenaga kerja, maka dia menyarankan untuk memfokuskan investasi di sektor hilir manufaktur. Masalah lainnya, tenaga kerja di Indonesia masih didominasi pekerja yang belum terampil.
"Kita semua sudah tahu bahwa lebih dari 60 persen pekerja Indonesia adalah unskilled workers, lulusan SMA ke bawah. Dominasi unskilled workers ini tetap sama di pasar tenaga kerja Indonesia dalam 10 tahun terakhir meskipun pemerintah mengupayakan banyak program peningkatan skills pekerja," kata Shinta.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu beban berat di pundak pemerintah, untuk memoles pekerja yang belum terampil ini menjadi pekerja terampil agar bisa menyesuaikan perkembangan industri hilirisasi.
"Kalau tidak, bagaimana pekerja di pasar tenaga kerja yang ada bisa diserap senagai pekerja dalam investasi hilirisasi yang padat teknologi kalau skills set-nya tidak berubah?," tegas Shinta.
Beban di Pundak Pemerintah
Agar kualitas investasi sepadan dengan penyerapan lapangan kerja, selain difokuskan di investasi sektor hilir manufaktur, Shina juga menyarankan hilirisasi juga menyasar sektor lain selain tambang.
Dia mencontohkan hilirisasi di sektor pertanian dan perkebunan yang dia rasa akan menyerap lebih banyak tenaga kerja. Hal itu lebih masuk akal, mengingat peningkatan skill SDM tenaga kerja Indonesia yang sudah tertinggal 10-20 tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
"Tapi perlu diingat juga, bahwa hilirisasi di sektor-sektor tersebut pun akan lambat laun menjadi padat modal karena adopsi teknologi dan modernisasi management pengolahan SDA terbarukan di sektor seperti teknologi sensing, predictive analysis, traceability, dan lain-lain. Apalagi dengan adanya peningkatan tuntutan terhadap sustainability compliance," pungkas Shinta.
Sementara menurut Bhima, pemerintah bisa melakukan upaya-upaya untuk menarik investasi di sektor padat karya agar investasi yang masuk berkualitas terhadap serapan tenaga kerja.
Pertama adalah dengan mengubah insentif pajak dan non pajak yang selama ini diberikan ke sektor padat modal misalnya tax allowance dan tax holiday agar lebih fokus ke sektor padat karya. Kedua, dengan meningkatkan serapan produk industri lokal dan membatasi impor.
Ketiga, memperbesar dukungan anggaran serta efektivitas untuk sektor pertanian khususnya subsidi pupuk, dan alsintan, serta dukungan pembiayaan dari perbankan domestik dengan bunga yang kompetitif ke sektor pertanian.
ADVERTISEMENT
"Dan keempat, transfer teknologi perlu didorong antara penanaman modal asing (PMA) dengan partner pelaku usaha lokal, misalnya dalam bentuk masuknya rantai pasok bahan baku, barang setengah jadi produsen lokal ke pengadaan PMA," pungkasnya.