Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Sebelum Naikkan Cukai, Pemerintah Diminta Bereskan Masalah Rokok Ilegal
12 September 2024 11:21 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi di The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho menuturkan, melihat sulitnya industri ini untuk tumbuh, kenaikan CHT seharusnya ditunda. Namun, jika tetap bersikukuh dinaikkan, ada beberapa PR yang harus diselesaikan terlebih dahulu.
Pertama, Andry memandang selama ini pemerintah belum memiliki formulasi atau mekanisme yang jelas terkait kenaikan CHT. Padahal, formulasi dapat memberikan kejelasan bagi pelaku usaha dan membuat industri tidak perlu mengira-ngira besaran kenaikan CHT dari tahun ke tahun.
Formulasi ini harus dibuat berdasarkan beberapa pertimbangan seperti penerimaan cukai, pengendalian, aspek tenaga kerja dan aspek dari rokok ilegal. Selain itu, formulasi ini harus dimasukkan dalam aturan yang jelas, dalam hal ini Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
ADVERTISEMENT
“Harus ada mekanisme yang jelas dengan menentukan tarif cukai artinya 5 persen itu didapatkan dari mana, jangan sampai nanti di 2026 lebih dari 5 persen atau double digit, makanya harus ada perhitungannya yang jelas, harapannya bisa dimasukkan ke dalam PMK,” kata Andry kepada kumparan, Rabu (11/9).
Lalu jika akan diteken, pemerintah juga harus menaikkan tarif CHT untuk semua jenis hasil tembakau, tidak hanya SPM dan SKM saja, tetapi jenis sigaret kretek pangan (SKP) juga harus ikut dikerek. Meskipun Andry tetap berharap kenaikan cukai tidak perlu diketok untuk 2025.
Sebab, saat ini Indonesia masih menghadapi permasalahan maraknya peredaran rokok ilegal yang dapat menyebabkan lemahnya daya saing rokok legal di pasar domestik. Akibatnya penerimaan negara turun. Sehingga kenaikan CHT tanpa menindak peredaran rokok ilegal, hanya akan membuat penerimaan negara dari cukai terus menurun.
“Jadi saran saya baru dikenakan di 2026, dikenakannya sesuai dengan formulasi,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, pemerintah juga harus meninjau ulang Peraturan Pemerintah (PP) No 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan yang memberatkan industri tembakau. Menurut Andry beleid ini seperti disusun dengan tergesa-gesa, bahkan tidak melibatkan berbagai instansi pemerintahan terkait.
“Menurut saya (PP 28) harus ditinjau ulang, (sebab) sendiri masih banyak permasalahan. Bahkan kita lihat juga itu tidak diparaf oleh Kemenko (Bidang) Perekonomian dan juga Kementerian Perindustrian, banyak yang tidak terlibat di sana,” jelas Andry.
Akibatnya, PP ini dinilai menimbulkan banyak permasalahan dan tidak mengakomodasi semua kepentingan berbagai instansi pemerintahan yang seharusnya dilibatkan dalam pengesahannya.
“Jangan sampai sudah diturunkan kepada Peraturan (Menteri) Kesehatan yang semata-mata menurut saya sangat-sangat terlihat agenda agenda donor kesehatan dalam PP 28 dan juga Permenkes turunannya,” tutup Andry.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR mengusulkan pemerintah untuk menaikkan tarif CHT untuk SPM dan SKM minimum sebesar 5 persen untuk 2025 hingga 2026.
Berdasarkan catatan kumparan, usulan kenaikan 5 persen tersebut lebih rendah ketimbang kenaikan di 2023 dan 2024 sebesar 10 persen.
Ketua BAKN DPR RI, Wahyu Sanjaya, mengatakan turunnya kenaikan tarif CHT sejalan dengan keberlangsungan dunia usaha.
“Dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dari CHT dan membatasi kenaikan CHT pada jenis sigaret kretek tangan (SKT) untuk mendorong penyerapan tenaga kerja,” kata Wahyu dalam Rapat BAKN, Selasa (10/9).
Tak hanya itu, BAKN DPR RI juga merekomendasikan pemerintah mengkaji sistem pengendalian pita cukai melalui digitalisasi terhadap produk pita cukai untuk meningkatkan pengawasan peredaran dan pelaporan produksi pita cukai, serta mengarahkan agar pemerintah merumuskan roadmap atau peta jalan kebijakan industri hasil tembakau (IHT).
ADVERTISEMENT
“Dengan penyederhanaan layer dan tahapan kenaikan secara bertahap untuk periode 1-15 tahun serta mempertimbangkan faktor kesehatan, pengawasan, penerimaan negara dan keberlangsungan usaha,” ungkap Wahyu.