Sebut Hilirisasi Untungkan China, Faisal Basri Sodorkan Data Bantah Jokowi

11 Agustus 2023 9:12 WIB
·
waktu baca 3 menit
Ekonom Faisal Basri. Foto: Wahyu Putro A/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Ekonom Faisal Basri. Foto: Wahyu Putro A/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Ekonom senior Indef, Faisal Basri, kembali merespons pernyataan Presiden Jokowi soal kebijakan hilirisasi nikel. Hal ini berkenaan dengan tudingan hilirisasi yang menguntungkan China.
ADVERTISEMENT
Menurut Presiden, hilirisasi memberi keuntungan berupa penerimaan negara yang tinggi. Jokowi mengambil contoh hilirisasi nikel. Menurutnya, realisasi nilai tambah hilirisasi nikel menjadi Rp 510 triliun dari pajak ekspor bahan mentah yang mencapai Rp 17 triliun per tahun.
“Bayangkan saja, negara itu hanya mengambil pajak. Mengambil pajak dari Rp 17 triliun sama ambil pajak dari Rp 500 triliun gedean mana?,” ungkap Jokowi saat mencoba LRT Jabodebek bersama para artis, Kamis (10/8).
Lewat blog pribadinya, Faisal mengatakan, angka-angka yang disampaikan Presiden tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya.
“Presiden hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati oleh China,” tulisnya seperti dikutip, Jumat (11/8).
Ilustrasi ore nikel. Foto: Potapov Alexander/Shutterstock
Jika berdasarkan data 2014, nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya Rp 1 triliun. Ini didapat dari ekspor senilai USD 85,913 juta dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama yaitu Rp 11,865 per dolar AS.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari perbedaan data antara yang disampaikan Presiden dan hitung-hitungannya, memang benar adanya bahwa lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat yang sungguh sangat fantastis.
“Namun, apakah uang hasil ekspor mengalir ke Indonesia? Mengingat hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh China dan Indonesia menganut rezim devisa bebas, maka adalah hak perusahaan China untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri,” tambah dia.
Menurutnya, perusahan-perusahaan smelter China menikmati “karpet merah” karena dianugerahi status proyek strategis nasional. Kementerian Keuangan lah yang pada mulanya memberikan fasilitas luar biasa ini dan belakangan lewat Peraturan Pemerintah dilimpahkan kepada BKPM.
Apalagi perusahaan smelter China tidak membayar royalti. Sebab yang membayar royalti adalah perusahaan penambang nikel yang hampir semua adalah pengusaha nasional.
ADVERTISEMENT
“Tentu saja pihak China yang menikmatinya. Nilai tambah yang mengalir ke perekonomian nasional tak lebih dari sekitar 10 persen,” katanya.
“Bapak Presiden, maaf kalau saya katakan bahwa Bapak berulang kali menyampaikan fakta yang menyesatkan,” tutup Faisal.