Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Selamat Datang di Generasi Belanja Sekarang Bayar Nanti
13 Oktober 2024 10:05 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Putri, karyawan swasta di Jakarta Utara, tergiur diskon produk kecantikan yang ditawarkan sebuah lokapasar . Untuk mendapatkan diskon tersebut, Putri harus menggunakan opsi pembayaran PayLater .
ADVERTISEMENT
Tak perlu pikir panjang, Putri lalu mulai menjajal PayLater pada 2021. Seiring berjalannya waktu, ia mulai terbiasa menggunakan layanan tersebut sebagai opsi pembayaran.
“Awalnya cuma digunakan ketika ada diskon, tapi belum bisa top up saldo, terus di tahun itu lagi banyak-banyaknya diskon kalau pembelian menggunakan SPayLater. Di tahun itu masih 2-3 bulan sekali menggunakan SPayLater,” cerita Putri kepada kumparan.
Tak cukup satu platform saja, Putri juga menjajal layanan aplikasi PayLater lainnya untuk membeli tiket transportasi publik. Semenjak merantau untuk bekerja, ada momen Putri merasa terpaksa dan ‘kepepet’ menggunakan PayLater.
“Jadi intensitasnya tiap bulan pasti ada pakai PayLater,” ungkap Putri.
Putri mengaku PayLater sangat memudahkan hidupnya. Sebab, pada saat itu belum mampu mendaftar kartu kredit. Kendati begitu, dengan kesadaran penuh, dia merasa PayLater bisa menjadi jebakan karena limit pinjaman sangat mudah naik, jika pelunasan dilakukan tepat waktu.
“Buruknya sih jadi terlilit utang. Jadi kalau mau pakai PayLater harus sadar aja sih bahwa penggunaannya tuh buat 'menyehatkan mutasi', bukan untuk hura-hura tanpa perhitungan,” ucap Putri.
ADVERTISEMENT
Hal yang sama juga dirasakan Hira, seorang karyawan swasta di Jakarta Selatan, mulai menggunakan PayLater sejak kurang lebih 2 tahun ke belakang karena tawaran diskon. Iming-iming promo membuat Hira tergoda.
“Awalnya karena iming-iming promo aplikasinya. Bisa gede banget dapet diskon gitu kalo transaksi pakai PayLater. Soalnya isi GoPay ada biaya admin juga kan, jadi kadang itungannya kalo pakai PayLater tapi lebih banyak dapet diskon, malah murahan pake PayLater,” jelas Hira.
Meski demikian, Hira tidak rutin meminjam di PayLater setiap bulan. Kebiasaan menghindari tunggakan utang membuatnya tidak terlalu bergantung pada opsi pembayaran tersebut.
Karena sudah cukup rutin menggunakan PayLater, Hira merasa tidak membutuhkan kartu kredit. Menurutnya, selama tidak ada kebutuhan darurat dengan nilai besar, dia tidak akan memilih kartu kredit yang biasanya memiliki limit lebih besar.
ADVERTISEMENT
Namun, berbeda dengan Fitri yang menilai kartu kredit lebih menguntungkan baginya dibanding PayLater. Karyawan swasta di Jakarta Selatan itu juga lebih lama menggunakan kartu kredit daripada PayLater.
Fitri menjelaskan kartu kredit efektif baginya untuk mengatur arus kas keuangan ketika ada pengeluaran yang besar.
“Enggak pernah ada masalah sama PayLater, tapi kurang sreg aja di sana, banyak biaya tambahannya. Belum lagi kalau telat bayar. Lebih enjoy pakai kartu kredit,” ungkap Fitri.
Senada, karyawan swasta di kawasan Jakarta Pusat, Denny, juga memandang penggunaan kartu kredit lebih ‘murah’ dibandingkan PayLater. Sebab, menurutnya, bunga pinjaman di PayLater lebih besar.
Selain itu, Denny menyebutkan selain limit yang lebih besar dan bunga yang kecil, keamanan data yang lebih dinilai terjaga merupakan kelebihan kartu kredit dibanding PayLater.
ADVERTISEMENT
“Bunga kartu kredit lebih kecil, lebih bagus, lebih aman dan established juga karena yang issue kartu kredit kan bank-bank gede, kalau PayLater ini gue enggak ngerti lah, gue masih belum berani saja dan takut enggak bisa ngontrol juga,” jelas Denny.
Sementara itu, pengguna PayLater sekaligus kartu kredit, Daffa, menilai kedua opsi pembayaran itu memiliki kegunaan dan keunikannya masing-masing. Menurutnya, PayLater lebih praktis dan fleksibel untuk mengatur keuangan sehari-hari.
Di sisi lain, Daffa masih membutuhkan kartu kredit untuk tujuan jangka panjang. Dia berpandangan bahwa kartu kredit merupakan produk perbankan yang memudahkan penggunanya bertransaksi dalam jumlah lebih besar daripada PayLater, misalnya untuk membeli kendaraan.
“Aku sendiri menggunakan kartu kredit sebenernya untuk jangka panjang dan dana darurat, walaupun dari tabungan itu udah ada, kartu kredit ini salah satu back up untuk menghadapi masa depan,” kata Daffa yang merupakan karyawan di daerah Jakarta Selatan itu.
ADVERTISEMENT
Kartu kredit, bagi Daffa, juga penting untuk mendapatkan credit score yang baik. Biasanya, dengan rekam jejak pinjaman yang bagus, nasabah perbankan bisa lebih mudah mengajukan kredit.
Gen Z Dominasi Penggunaan PayLater?
Masifnya tren layanan Buy Now Pay Later (BNPL) itu terlihat data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK ). Per Agustus 2024, porsi produk kredit BNPL perbankan sebesar 0,24 persen, namun terus mencatatkan pertumbuhan yang tinggi.
Per Agustus 2024 baki debet kredit BNPL tumbuh 40,68 persen (yoy) menjadi Rp 18,38 triliun, dengan total jumlah rekening 18,95 juta. Risiko kredit untuk BNPL perbankan turun ke level 2,21 persen, dibandingkan Juli 2024 sebesar 2,24 persen.
Sementara pembiayaan BNPL oleh perusahaan pembiayaan, pertumbuhan pembiayaannya meningkat sebesar 89,20 persen (yoy) atau menjadi Rp 7,99 triliun dengan NPF gross sebesar 2,52 persen. Dengan begitu, penggunaan PayLater di perbankan dan perusahaan pembiayaan, seluruhnya mencatatkan pertumbuhan.
ADVERTISEMENT
Plt Kepala Departemen Literasi, Inklusi dan Komunikasi OJK, M. Ismail Riyadi, mengakui PayLater saat ini populer di kalangan anak muda. Sebab, layanan itu memudahkan pemenuhan kebutuhan sehari-hari sesuai kemampuan finansial mereka.
"Namun, penggunaannya harus dilakukan dengan bijak. Anak muda perlu mempertimbangkan apakah barang yang dibeli merupakan kebutuhan atau hanya keinginan," kata Ismail kepada kumparan.
Ismail menyarankan pembelian barang konsumtif sebaiknya dilakukan dengan pembayaran tunai dan memastikan total cicilan tidak melebihi 30 persen dari pendapatan.
"Penggunaan PayLater yang tidak bijak dapat menyebabkan kualitas kredit yang buruk termasuk menjadi sulit mengajukan pinjaman di bank, misalnya KPR," ujar Ismail.
Ismail memastikan OJK akan terus mengedukasi penggunaan PayLater. Langkah itu juga untuk memitigasi risiko produk-produk keuangan, khususnya PayLater.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan catatan Pefindo Credit Bureau (Idscore), BNPL menjadi pilihan pembayaran yang semakin diminati, terutama di kalangan Gen Z. Pada semester I 2024, tercatat ada sekitar 38,12 juta akun yang fasilitas kredit BNPL, hampir tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah akun kartu kredit.
Kontribusi Gen Z terhadap penyaluran BNPL mencapai Rp 8,99 triliun per Juni 2024. Meskipun lebih rendah Rp 7,87 triliun dibandingkan dengan kontribusi dari generasi millennial, pertumbuhan tahunan penggunaan BNPL oleh Gen Z mencapai 32,79 persen.
Sementara itu, selama lima tahun terakhir, tren penggunaan kartu kredit relatif stagnan pada angka sekitar 13 juta akun, sementara BNPL menunjukkan lonjakan yang signifikan. Pada Juni 2024, BNPL memiliki total 39,72 juta fasilitas aktif dari 14,37 juta debitur dengan portofolio kredit total sebesar Rp 30,14 triliun.
ADVERTISEMENT
Live Update