Sepatu Brodo, Lahir dari Modal Nekat Dua Lulusan Teknik Sipil ITB

15 Juli 2018 19:56 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Yuka (kiri) dan Putera (kanan) Pendiri Brodo (Foto: Dok. Brodo)
zoom-in-whitePerbesar
Yuka (kiri) dan Putera (kanan) Pendiri Brodo (Foto: Dok. Brodo)
ADVERTISEMENT
Membangun bisnis tentu tidaklah mudah. Apalagi kalau tidak memiliki keahlian dalam bidang bisnis tersebut alias modal nekat. Namun, Yukka Harlanda dan Putera Dwi Karunia membuktikan bahwa meski bermodal nekat, jika dijalankan dengan serius, pasti menghasilkan buah yang manis.
ADVERTISEMENT
Ini dibuktikan dengan munculnya nama merek sepatu lokal asal Bandung, Brodo. Sepatu ini kini banyak digandrungi anak muda, bahkan sekarang terpilih sebagai cendera mata resmi perhelatan Asian Games 2018.
Cerita berawal pada 8 tahun lalu, saat Yukka yang saat itu sedang menempuh kuliah tahap akhir di jurusan Teknik Sipil ITB kebingungan harus mempresentasikan tugas praktik untuk pengajuan skripsi. Kampus mengharuskan dia berpakaian formal, termasuk sepatu. Sementara Yukka hanya memiliki sneakers dengan ukuran yang tak sekitar 45 atau 46.
"Sebenarnya sepatu formal ukuran segitu ada, cuman diproduksi oleh merek terkenal yang harganya sampai Rp 2 juta. Yah, saat itu kan kami masih anak kos, daripada uangnya beli sepatu lebih bagus untuk kepentingan lain," kata Yukka saat ditemui di salah satu gerai Brodo di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
ADVERTISEMENT
Sahabatnya, Putera, kemudian memberi ide agar Yukka memesan sepatu ke Cibaduyut, sentra sepatu kulit hanmade paling terkenal di Bandung. Bermodal modifikasi model sepatu dari internet, Yukka dan Putera memesan satu pasang sepatu kulit. Berawal dari hal ini, Yukka dan Putera tertarik untuk memulai usaha sepatu kulit yang dijual kepada teman-temannya.
"Kami kaget melihat harganya, kualitas sama bahan hampir sama dengan yang ada di toko merek terkenal tadi, tapi harga jauh lebih kompetitif, kalau enggak salah waktu itu saya beli sepatu harganya sekitar Rp 350 ribu. Lalu saya kepikiran buat usaha begini," ujarnya.
Karena keduanya tak memiliki keahlian dalam menggambar dan mendesain sepatu, Yukka dan Putera hanya mengandalkan model sepatu dari internet yang kemudian dimodifikasi sesuai gaya dan khas yang ingin mereka tonjolkan. Mereka sepakat menyerahkan urusan menjahit sepatu ini kepada Syaiful, tukang pengrajin sepatu kulit handmade di Cibaduyut.
ADVERTISEMENT
Masing-masing dari mereka mengumpulkan Rp 3,5 juta untuk memulai bisnis ini. Hasilnya, mereka bisa menghasilkan sekitar 40 pasang sepatu kulit semi-bot yang kemudian mereka beri nama Signore. Tanpa disangka, sepatu semi-bot kulit ini laris dibeli kerabat dan teman kampus dengan harga Rp 375 ribu sepasang.
Karena pesanan yang terus mengalir, akhirnya mereka memutuskan untuk melabeli produk sepatu kulit ini dengan nama Brodo. Saat ditanya tentang makna, Yukka hanya menjawab singkat dengan tawa kecil.
"Itu artinya kaldu ayam. Kami suka baca komik dan saat memikirkan nama yang bagus, kami tertariknya Brodo. Di depan kata tersebut ada kata 'Bro' yang merepresentasikan produk sepatu kulit kami yang hanya dikhususkan untuk para pria," kisahnya.
Sepatu Brodo. (Foto: Dok. Brodo )
zoom-in-whitePerbesar
Sepatu Brodo. (Foto: Dok. Brodo )
Mereka kemudian konsisten membangun citra produk sepatu kulit di kalangan konsumen. Yukka menjelaskan, mereka bertekad untuk membuat masyarakat, khususnya kalangan mahasiswa, bahwa sepatu kulit tidak harus mahal tapi tetap berkelas.
ADVERTISEMENT
"Kami pasar utamanya untuk mahasiswa, karena berawal dari pengalaman pribadi itu kan. Akhirnya, kami putuskan memotong rantai distribusi. Barang langsung diantar tanpa ada perantara, makanya harga jadi murah," tuturnya lagi.
Setelah mengubah bentuk usahanya menjadi sebuah perusahaan yang diberi nama PT Brodo Ganesha Indonesia pada 2012 lalu, Yukka mengaku semakin berat menjalankan usaha sepatu kulitnya ini.
Ditambah lagi, dengan keputusan mereka yang memilih untuk membuka satu demi satu cabang. Mulai dari meminjam dana dari bank, tak mampu bayar cicilan utang, hingga tersendat dalam pemberian gaji karyawan pun diakui Yukka.
"Kalau kita buka cabang baru kan berarti biaya bertambah dan tabungan semakin berkurang. Nah, itu bener-bener pusing. Susahnya sampai nangis pun bisa kalau diinget. Karena gini, masyarakat itu masih butuh ritel offline dan online agar mereka yakin produk kita. Pertama kali, mereka pasti cari toko dulu, setelahnya beralih ke online karena sudah percaya dan melihat produknya seperti apa. Makanya, kami putuskan terus buka cabang meski ada online," tambahnya lagi.
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini, Brodo sudah memiliki 10 toko cabang yang berada di beberapa daerah seperti Tangerang, Depok, Yogyakarta, Jakarta, Bogor, Makassar, Bandung, Bekasi, dan Surabaya. Meski teman kampusnya sudah memiliki penghasilan puluhaan juta dengan bekerja di perusahaan minyak dan gas, Yukka dan Putera mengaku tak tergiur. Mereka memutuskan fokus dalam usaha sepatu Brodo ini.
"Kami melihat produk luar yang terkenal seperti Nike dan H&M itu produknya dibuat di dalam negeri, tapi di ekspor lagi ke sana. Berarti kan kualitas buatan tangan kita itu diakui. Jadi kenapa enggak memajukan sendiri produk dan potensi lokal dalam negeri?" tutupnya.