Sepeda Impor vs Lokal di Pasar Indonesia, Laris Mana?

7 Juni 2019 18:16 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Taufik (34) bersama dua rekannya sedang sibuk merakit komponen sepeda. Setelah dikeluarkan dari kardus, ketiganya lantas cekatan mulai membuka bautan yang terdapat pada stem (leher penghubung sepeda).
ADVERTISEMENT
Stang sepeda pun kemudian dipasang. Tangan-tangan terampil itu mulai meluruskan stang di bagian stem agar tak panjang sebelah. Tak lupa, quick release juga dikencangkan supaya tidak gampang lepas. Berlanjut memasang roda, kaliper rem, tempat duduk atau saddle hingga berbagai pernak-pernik seperti aksesoris pun lengkap terpasang.
Tak lebih dari dua tiga jam, sepeda berwarna merah jambu, ungu, dan hijau muda mentereng itu pun siap digunakan. Kian manis, di stang dan keranjang sepeda itu bertengger pula kipas-kipasan serta lampu kerlap-kerlip yang menggoda mata.
Begitulah proses perakitan sepeda anak-anak yang diimpor dari China. Para penjaga Toko Tri Jaya 2 yang berlokasi di Pondok Labu, Cilandak, Jakarta Selatan itu, mampu menyulap sepeda anak-anak yang semula dibeli secara kardusan dari distributor sepeda impor asal China menjadi produk ciamik tanpa banyak kendala. Yang lebih penting lagi, ongkos perakitan cuma-cuma.
ADVERTISEMENT
“Satu karung isinya 4 (bakal sepeda China rakitan), kadang (kondisinya) lecet atau apa. Yang penting jadi sepeda dulu, urusan kuat enggak-nya entar. Kayak pelek belum jadi segala macam. Kualitas ya jauh (dibandingkan lokal),” ujar seorang pedagang sepeda di Toko Tri Jaya 2 Pondok Labu, Taufik (34) kepada kumparan, Jumat (24/5).
Taufik menerangkan, animo masyarakat utamanya bagi pembeli sepeda anak-anak terhadap produk impor China memang marak. Bukan lagi rahasia memang sepeda China seringkali identik dengan minimnya kualitas, namun produk China tetap diburu sebab harganya ramah di kantong.
“Bisa setengah dari harga sepeda lokal, mulai dari Rp 400 ribuan juga ada,” ujarnya.
Penjualan Sepeda di Toko Arena Baru di Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan. Foto: Nurul Nur Azizah/kumparan
Lelaki yang telah belasan tahun di toko sepeda itupun mengungkapkan, sepeda China banyaknya dicari untuk pasar anak-anak. Pedagang lainnya, Putri (25) mengamini hal itu. Menurut pengalamannya ketika melayani pelanggan, sepeda China memang banyak diperuntukkan bagi anak-anak. Mulai dari harga yang terjangkau, dipakai tak untuk waktu lama hingga penampilannya yang memikat.
ADVERTISEMENT
“Murah, terus warnanya dia (sepeda China) lebih bagus, ngejreng, terus banyak aksesorisnya, kadang kan sepeda lokal gitu kelebihannya hanya bel aja, ada tamengnya gitu. Kalau China, dia lebih ramai dan menarik, ada kipasnya gitu, terus kadang ada lampu-lampunya, ada musik-musiknya,” terang dia.
Sedangkan, kata dia, para dewasa lebih banyak yang memilih produk lokal seperti Polygon, United, hingga Pacific.
“Tergantung uangnya juga sih, biasanya kalau pernah beli yang China itu mereka kapok, ya kagak beli lagi. Lalu, nyari yang bagusan lagi kalau dewasa itu, ya yang lokal, harganya mulai Rp 5 jutaan sampai belasan juta ada kan, itu karena banyaknya juga kan buat hobi,” paparnya.
Dalam sebulan, Putri mengatakan sepeda di tokonya bisa laku terjual puluhan buah. Sekurang-kurangnya sekitar 20-30 buah. Adapun, puncak penjualannya itu saat momen selepas Lebaran dan kenaikan kelas.
ADVERTISEMENT
“Enggak tentu sih banyakan lokal atau impor terjualnya, tapi yang jelas kalau untuk anak-anak itu banyak yang dari China, kalau dewasa masih lokal yang banyak,” ungkapnya.
Sementara itu, membanjirnya produk-produk impor China lebih tampak terlihat di Toko Sepeda Arena Baru yang ada di Jl Fatmawati, Jakarta Selatan. Apink (54) menceritakan pelanggan-pelanggan di tokonya lebih tertarik produk impor China sebab murah.
“Orang-orang yang datang ke sini kebanyakan nyari yang apapun lah, yang penting murah, ya makanya pada ambil yang rakitan sendiri dari China itu, Rp 500 ribuan sudah dapat, banyaknya juga yang malah modifikasi sepeda lamanya saja ke sini, jadi lebih murah lagi tinggal beli komponen tambahan karena ya cuma asal bisa dipakai,” kata dia.
Penjualan Sepeda di Toko Tri Jaya 2 di kawasan Pondok Labu, Jakarta Selatan. Foto: Nurul Nur Azizah/kumparan
Segmentasi Sepeda Impor dan Lokal
ADVERTISEMENT
Baik sepeda impor atau lokal, sebetulnya memang telah memiliki segmen pasarnya masing-masing. Merujuk di toko sepeda misalnya, segmen impor dari China memang laris manis bagi anak-anak. Sedangkan, sepeda untuk dewasa masih banyak yang mencari produksi lokal.
Namun, bicara soal impor tentu tak hanya produk dari negeri Tirai Bambu (China) semata. Penggemar sepeda yang juga tergabung komunitas pesepeda di Tangerang mengaku menggunakan sepeda impor dari Eropa untuk menekuni hobinya. Ialah, Adhi Pratama alias Deden.
“Aku sendiri MTB (sepeda gunung), aku punya beberapa sepeda tapi yang sering aku pakai sepeda Mountain Bike untuk di gunung. Aku pernah punya sepeda lokal ada Polygon. Sebenarnya bukan tidak percaya dengan brand lokal, tapi maksudnya, kalau untuk daya tahan produknya kan harus naik turun gunung, panas hujan, nah kebanyakan tuh, pakai brand luar. Nah aku sendiri sih pakai brand dari Andorra (Prancis),” ujarnya ketika dihubungi kumparan, Sabtu (25/5).
ADVERTISEMENT
Lelaki yang berdomisili di Tangerang itu, memang telah lama menjalani hobinya. Yaitu sejak 2006 yang bermula saat ia berprofesi sebagai wartawan di salah satu surat kabar di Jakarta. Jika sebelumnya anggota komunitas hanya hitungan jari, kini ia semakin serius bersama anggota komunitas di komplek perumahannya.
“Kita gowes di Bromo, Merapi, malah sama teman komplek kita nekat ke Rinjani, sebelum ada gempa Lombok. Kita gowes di sana, intinya kita enggak di Jakarta saja, di Toba kita gowes segala macam,” imbuhnya.
Untuk membiayai hobinya itu, dirinya bisa merogoh kocek hingga puluhan juta. Hitung saja, ketika sepeda asal Eropa harganya di kisaran Rp 40-50 jutaan, belum termasuk biaya perawatan dan perbaikan komponen.
Suasana penjualan sepeda di Toko Sepedaku, Duren Sawit, Jakarta, Jumat (31/5). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Untuk kasta sepeda impor menurutnya, yang paling bagus ialah brand dari Amerika Serikat (AS), Eropa utamanya Inggris, sedangkan produk China ada beberapa yang kata dia bagus yaitu Taiwan.
ADVERTISEMENT
Meski termasuk orang yang fanatik terhadap brand luar, Deden mengaku tak enggan untuk menjajal produk sepeda lokal. Pasalnya, sepeda lokal kini juga kian berkembang. Ia mencontohkan sepeda Polygon yang terus berinovasi dan masif promosi hingga ke luar negeri bisa jadi pertimbangannya.
“Aku sendiri ada 3 sepeda. Impor semua. Kalau emang ada kesempatan pengin coba yang lokal,” kata dia.
Lain cerita dengan Deden, anggota komunitas sepeda Yogyakarta “Dewe-dewe Rapapa” bernama Dony mengatakan dirinya pengguna setia produk lokal. Bermula dari iseng-iseng gowes, kini ia dan komunitasnya kerap berkumpul seminggu sekali sambil bertukar informasi mengenai hobi bersepeda. Termasuk update sepeda lokal terkini.
“Yang paling banyak tetap Polygon, nah kalau Wimcycle itu ada, tapi enggak banyak. Lokal nomor satu kan Polygon, yang lain emang ada United sama Wimcycle tapi enggak banyak,” katanya dihubungi berbeda oleh kumparan.
ADVERTISEMENT
Meski saat ini impor sepeda marak, namun Dony menampik sepeda lokal tak banyak diminati. Sebab, tiap produk sepeda menurutnya memiliki segmen masing-masing yang tak bisa langsung terpengaruh.
“Karena kita ngomong ketika orang baru beli sepeda, pasti orang belinya Polygon, Wimcycle atau United. Kalau orang beli impor, itu sudah yang advance, sudah yang next step. Sudah tahu sepedanya mau ke mana, mau apa, jadi dia sudah tahu kebutuhannya kayak apa. Jadi kalau kita ngomong secara general kebanyakan orang, sepeda lokal bakal tetap bertahan sih,” timpalnya.
Direktur Polygon Bikes William Gozali pun membenarkan hal itu. Ia menekankan pasar sepeda lokal saat ini masih terbilang bergairah dan terjaga. Meskipun, ia juga tak mengingkari kehadiran sepeda impor cukup berdampak.
ADVERTISEMENT
“Pasar (sepeda) lokal saat ini masih cukup stabil. (Namun kendalanya) Dengan bea masuk sepeda 5 persen untuk sepeda impor yang menjadi masalah ialah impor undervalue melalui pelabuhan tertentu, kemudian dijual di pasar dalam negeri tanpa PPN. Persaingan ini sangat tidak fair yang merusak industri nasional. Beberapa kategori sepeda kita terganggu oleh impor seperti ini,” ujar William kepada kumparan, Kamis (30/5).
Tak cukup diadang produk impor, William pun mengungkap industri sepeda lokal juga tak bisa dilepaskan dari kendala internal. Meliputi, aksesibilitas pelayanan dan informasi ke konsumen, peningkatan variasi produk, efisiensi produksi, serta penataan dan peningkatan pelayanan jalur distribusi di nasional.
“Misi dari Polygon adalah untuk menjadi brand global yang dicintai dan dibanggakan oleh konsumen Indonesia. Kita mempunyai sekitar 110 model sepeda. Yang paling banyak dicari adalah MTB hardtail dan full-suspension,” papar dia.
ADVERTISEMENT
Upaya Mendorong Sepeda Lokal
Ketua Asosiasi Industri Persepedaan Indonesia (AIPI), Rudiono menekankan upaya mendorong sepeda lokal mesti lebih ditingkatkan. Pasalnya, pergerakan sepeda impor pun kini kian masif. Bukan saja soal iming-iming harga dan penampilan, namun juga perkara persoalan nasional yang ia rasa masih ada yang membelenggu.
Ia bilang, bea masuk sepeda impor ke Indonesia saat ini sebesar 5 persen cukup memukul industri nasional. Sebab, bea masuk itu dinilai masih terbilang rendah dan berdampak pada membanjirnya produk-produk impor ke Indonesia.
Nasib sepeda lokal Wim Cycle. Foto: Nunki Lasmaria Pangaribuan/kumparan
“Sepeda, agak konyol sudah dari awalnya sudah susah bersaing dengan China, ditambah bea masuknya sekarang jadi 5 persen,” kata dia.
Sebaliknya, bukan saja di negeri sendiri yang kesulitan, namun menurutnya industri sepeda lokal masih kesulitan untuk mengenalkan produk ke luar negeri. Apalagi ke Eropa, yang bea masuknya dipatok hingga 14 persen.
ADVERTISEMENT
“Sebetulnya kalau kita bersaing dengan China (ke Eropa), kurang diuntungkan negara di Asia Tenggara. Kita 14 persen. Katanya sedang diperjuangkan oleh pemerintah kita,” imbuh dia.
Pihaknya menegaskan, kondisi itu masih sulit bagi industri lokal sepeda. Meskipun, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) melalui PMK No. 17 tahun 2018 memang telah melakukan perubahan tarif produk komponen sepeda mengenai pembebanan tarif bea masuk dari 30 persen menjadi 10 persen. Kesepuluh pos tarif itu, meliputi komponen stang, pilar, sepathor, spion, kabel kontrol, braket lampu, rantai roda, dan engkol.
Suasana penjualan sepeda di Toko Sepedaku, Duren Sawit, Jakarta, Jumat (31/5). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
“Bahan baku kita sudah bikin sendiri, kayak aluminium, pipa-pipa steal dibentuk di sini, untuk rangka stang. Yang impor, rantai, kemudian jari-jari, ya masih banyak yang impor,” ujarnya.
Hal yang tak kalah penting diperhatikan, ialah persoalan Standar Nasional Indonesia (SNI). Rudiono mengingatkan agar pemerintah bukan saja mendukung standarisasi bermutu bagi produk sepeda lokal, tapi juga menegakkan aturan SNI itu. Utamanya, bagi spekulan-spekulan sepeda impor yang bertindak curang.
ADVERTISEMENT
“Kita juga koordinasi Kemenperin sangat intens. Cuma barangkali kalau dikaitkan dengan produk impor, itu kan kaitannya SNI. Nah, SNI itu yang kurang tertib. Jadi mereka mengajukan SNI, mereka mengambil sampelnya SNI. Mereka masuk ke produk pasar Indonesia, bukan yang sesuai dengan sampel,” terang dia.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Sepeda Indonesia (Apsindo), Eko Wibowo juga sepakat soal itu. Bukan saja pemerintah dan industri lokal perlu bergandengan untuk standar-standar kualitas yang lebih mumpuni, namun ia berharap berbagai upaya perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan ekonomi nasional.
Ilustrasi sepeda. Foto: Pixabay
Sebab dengan begitu, ia menegaskan sepeda lokal bukan saja bisa bersaing secara kualitas namun daya beli masyarakat juga mampu untuk mengimbangi perkembangan sepeda lokal itu.
“Dan support-nya ya kestabilan ekonomi itu, mendukung pengusaha untuk membuat proses bisnisnya untuk lebih pasti,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT