Serahkan Hasil Kajian, Ombudsman: Terdapat Disharmonisasi Regulasi Jamsostek

8 November 2024 9:05 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pimpinan Ombudsman Robert Na Endi Jaweng (kiri) Sekda Kabupaten Manggarai Barat Fransiskus Sales Sodo (tengah) pada Penyerahan Hasil Kajian dan Diskusi Publik di Kantor Bupati Manggarai Barat, NTT, Kamis (7/11/2024). Foto: Dok. BPJS Ketenagakerjaan
zoom-in-whitePerbesar
Pimpinan Ombudsman Robert Na Endi Jaweng (kiri) Sekda Kabupaten Manggarai Barat Fransiskus Sales Sodo (tengah) pada Penyerahan Hasil Kajian dan Diskusi Publik di Kantor Bupati Manggarai Barat, NTT, Kamis (7/11/2024). Foto: Dok. BPJS Ketenagakerjaan
ADVERTISEMENT
Penyelenggaraan perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan menjadi konsen Ombudsman Republik Indonesia untuk terus dioptimalkan.
ADVERTISEMENT
Melalui kegiatan diskusi publik yang diselenggarakan di Kantor Bupati Manggarai Barat, Kamis 7 November 2024, Pimpinan Ombudsman Robert Na Endi Jaweng menyerahkan hasil evaluasi dan kajian sistematik kepada Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Manggarai Barat, tokoh masyarakat dan tokoh agama, serta pihak BPJS Ketenagakerjaan.
Kajian yang menjadi rekomendasi kepada pemerintah tersebut menyatakan beberapa kondisi yang dapat menyebabkan kelompok pekerja informal dan pekerja rentan tidak dapat memiliki perlindungan sosial ketenagakerjaan. Salah satunya adalah disharmonisasi regulasi di tingkat pusat dan daerah.
Kebijakan pemerintah pusat seperti Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2021 telah mengatur optimalisasi jaminan sosial ketenagakerjaan (Jamsosnaker), namun banyak daerah belum memiliki regulasi yang kuat untuk mendukungnya.
“Isunya memang di tingkat regulasi, berbicara secara nasional secara umum sebenarnya sudah komprehensif, problemnya di tingkat daerah, tidak banyak provinsi/kabupaten/kota punya regulasi. Kabupaten Manggarai Barat sudah ada namun masih umum, ke depan kita harapkan Kabupaten Manggarai Barat itu menyusun perbup terkait pengalokasian dana bagi para pekerja rentan seperti petani, nelayan dan pekerja informal lainnya sehingga ada payung hukumnya,” jelas Robert Na Endi Jaweng kepada pers.
ADVERTISEMENT
Secara nasional diketahui klasifikasi pekerja informal mendominasi status pekerja di Indonesia. Sekitar 59,17% dari jumlah pekerja di Indonesia atau 84,13 juta penduduk merupakan pekerja informal atau dalam sistem jaminan sosial pekerja informal dikategorikan sebagai Peserta Bukan Penerima Upah (BPU).
Dalam klasifikasi tersebut, profesi petani dan nelayan merupakan profesi yang paling rentan terhadap risiko sosial-ekonomi seperti penyakit hingga kematian akibat kerja, kecelakaan kerja, hingga kesulitan ekonomi di masa tua.
Mirisnya, dalam situasi ringkih demikian, sebagian besar petani dan nelayan justru belum tersentuh skema jaminan sosial ketenagakerjaan. Baru sekitar 2 juta jiwa atau 6,9% dari jumlah petani se-Indonesia yang sudah menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Sedangkan jumlah BPU dari profesi nelayan baru mencapai 491 ribu jiwa atau 38,7% dari jumlah nelayan yang ada di Indonesia.
ADVERTISEMENT
BPJS Ketenagakerjaan menyerahkan Santunan JKM dalam Penyerahan Hasil Kajian dan Diskusi Publik di Kantor Bupati Manggarai Barat, NTT, Kamis (7/11/2024). Foto: Dok. BPJS Ketenagakerjaan
Merespons hasil kajian tersebut, Sekda Kabupaten Manggarai Barat Fransiskus Sales Sodo mengucapkan terima kasih atas evaluasi dan kajian Ombudsman terkait optimalisasi BPJS Ketenagakerjaan. Menurutnya, program jaminan sosial ketenagakerjaan ini sudah sejalan dengan program pihaknya dalam rangka pengentasan kemiskinan ekstrem.
“Saran dari Ombudsman pemda harus menyiapkan regulasi secara spesifik khususnya pendataan pekerja informal yang nantinya akan dicover oleh pemerintah daerah. Tahun depan kami akan meningkatkan kuota pekerja-pekerja informal yang rentan melalui APBD, kalau tahun ini kita sudah siapkan 1.000 pekerja, tahun depan kita harapkan bisa jauh dari pada ini,” ucap Fransiskus Sales Sodo

Pekerja Informal Sulit Mengiur

Temuan di beberapa daerah menunjukkan masih banyak masyarakat khususnya pekerja informal yang terhambat menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan diakibatkan faktor kemampuan ekonomi (ability to pay), hal ini ditengarai lantaran pekerja informal atau pekerja mandiri tidak terikat dengan perusahaan tempat bekerja (pemberi upah) sehingga cenderung rentan menjadi peserta tidak aktif.
ADVERTISEMENT
Mengutip keterangan Robert Na Endi Jaweng sebelumnya, Ombudsman RI akan merekomendasikan kepada pemerintah agar pekerja informal rentan seperti petani dan nelayan yang kesulitan membayar iuran tersebut bisa mendapatkan perlindungan BPJS Ketenagakerjaan dengan keberadaan skema penerima bantuan iuran (PBI).
"Sehingga di sisi regulasi kita meminta, pertama, agar Kemenko ini duduk bersama dengan kementerian terkait untuk menyusun SKB, Surat Keputusan Bersama, yang memastikan agar para petani dan nelayan itu bisa mendapatkan bantuan iuran, PBI," katanya.
Keseluruh langkah mengharmonisasi regulasi di tingkat pusat dan daerah, serta peningkatan peran pemerintah dalam mengalokasikan anggaran untuk program Jamsosnaker (PBI) ini diperlukan untuk mendukung pembangunan sumber daya manusia yang menjadi salah satu fokus pemerintah baru Presiden Prabowo Subianto menuju Indonesia Emas.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya Kepala Wilayah Bali Nusa Tenggara dan Papua BPJS Ketenagakerjaan Kuncoro Budi Winarno menyampaikan, bahwa pihaknya akan terus meningkatkan kolaborasi dengan seluruh pemangku kepentingan, selain itu sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat khususnya pekerja informal akan semakin masif lagi sehingga semakin banyak lagi pekerja yang terlindungi.
“Kami terus meningkatkan pelayanan kami, sosialisasi dan edukasi menjadi hal yg terus kami kerjakan secara masif, agar semakin banyak pekerja yang sadar akan pentingnya perlindungan Jamsostek. Risiko bisa terjadi kapan saja, dengan perlindungan BPJS Ketenagakerjaan, pekerja dan keluarga dapat kerja keras dan bebas cemas dari risiko kerja seperti kecelakaan kerja hingga terjadinya kematian,” tutup Kuncoro.
Artikel ini dibuat oleh kumparan Studio