Serikat Buruh soal WFH untuk Pegawai Kantor: Diskriminasi untuk Pekerja Pabrik

21 Agustus 2023 17:29 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pabrik tekstil. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
Presiden Partai Buruh Said Iqbal menanggapi aturan Work From Home (WFH) melalui Surat Edaran (SE) No.17/2023 tentang Penyesuaian Sistem Kerja Pegawai ASN yang Berkantor di Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
ADVERTISEMENT
Selain sebagai Masa Persiapan dan Penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN 2023 Ke-43, aturan tersebut juga untuk menekan buruknya polusi udara yang belakangan ini menyelimuti Jakarta.
Dalam lampiran SE disebutkan, bahwa persentase PNS dan PPPK WFH paling banyak 50 persen dan presentasi WFO sama dengan atau lebih dari 50 persen untuk layanan administrasi pemerintahan dan layanan dukungan pimpinan.
"Ada diskriminasi. Kalau WFH mau diberlakukan, maka harus berlaku juga di pabrik. Mereka yang dari Bodetabek bekerja ke Jakarta, kalau mereka WFH, bagaimana dengan yang di pabrik? Tidak mungkin pabrik diliburkan. Maka perlu diatur bagaimana caranya antara shift dan jam kerja," ujar Said Iqbal dalam pernyataan resmi pada Senin (21/8).
Presiden Partai Buruh Said Iqbal memberikan keterangan pers usai menyerahkan dokumen perbaikan bacaleg, di gedung KPU, Minggu (9/7/2023). Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Said juga menitikberatkan akan terjadi kecemburuan apabila WFH diberlakukan hanya untuk karyawan tertentu. Di sini lah diperlukan kebesaran hati bagi pengusaha dan penguasa untuk menambahkan pelayanan untuk keselamatan buruh pabrik yang juga manusia.
ADVERTISEMENT
"Dipastikan juga agar buruh pabrik bisa mendapatkan perlindungan. Mereka yang menggunakan motor ke pabrik, menghisap polusi, tercemar, tentu harus dilindungi. Buruh tersebut juga harus disiapkan perlindungannya seperti masker, pemeriksaan Medical Check Ulang (MCU) per bulan. Karena ini polusi udara, mau tidak perusahaan memberlakukan?,” katanya.
Selain itu, imbauan agar masyarakat beralih menggunakan moda transportasi publik semakin masif digencarkan. Ironisnya, aturan tersebut tidak dilakukan bagi mereka khususnya pejabat, baik di instansi maupun lembaga negara.
"Menurut informasi, polusi udara diakibatkan beberapa faktor, misal PLTU dan asap kendaraan bermotor. Tapi, terkait asap kendaraan ini, mereka (pejabat/eselon) tidak menggunakan transportasi publik," tutur Said.
"Mereka hanya bisa meminta masyarakat untuk beralih ke transportasi publik. Harusnya dicontohkan, baru meminta,” sambungnya.
ADVERTISEMENT