Setahun Perang Rusia-Ukraina, Apa Dampaknya ke Ekonomi RI?

24 Februari 2023 14:14 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana apartemen warga yang dihancurkan oleh serangan rudal Rusia di Kramatorsk, Ukraina 2 Februari 2023. Foto: Vyacheslav Madiyevskyy/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Suasana apartemen warga yang dihancurkan oleh serangan rudal Rusia di Kramatorsk, Ukraina 2 Februari 2023. Foto: Vyacheslav Madiyevskyy/REUTERS
ADVERTISEMENT
Konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina sejak 24 Februari 2022 masih terus bergulir hingga kini. Adapun konflik kedua negara ini berhasil menyita perhatian masyarakat global sebab keduanya merupakan negara besar yang setiap kebijakan ekonomi politiknya memiliki dampak bagi dunia.
ADVERTISEMENT
Perang Rusia dan Ukraina membuat adanya pembatasan akses gas, minyak dan komoditas yang berimbas pada kenaikan harga energi, komoditas hingga pangan. Kondisi ini tidak hanya mengganggu perekonomian di wilayah Eropa Timur, akan tetapi seluruh penjuru dunia bahkan Indonesia.
Kepala Center of Macroeconomics and Finance Indef, M Rizal Taufikurahman mengatakan, perang kedua negara tersebut ikut mengerek harga minyak di Indonesia. Berdasarkan hitungan INDEF dengan menggunakan Global Trade Analysis Project (GTAP) 2022, harga minyak di Indonesia sudah naik sebesar 1,14 persen.
Kenaikan harga minyak terutama BBM juga berdampak pada sektor lain, misalnya transportasi. "Ini pasti akan dirasakan terhadap kinerja ekonomi kita terutama sektor-sektor yang direct menggunakan BBM salah satunya transportasi," ujar Rizal dalam Diskusi Publik INDEF Perang, Harga Minyak dan Dampaknya bagi Ekonomi dan Bisnis di Indonesia, Rabu (2/3).
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy, mengatakan kenaikan harga sektor energi tersebut di satu sisi memberikan efek limpahan atau windfall ke APBN, karena penerimaan negara berpotensi terdongkrak. Namun, berpotensi juga membuat inflasi meningkat lebih tinggi juga semakin besar.
“Sehingga ini perlu diimbangi dengan memastikan bantuan pemerintah telah terdistribusi secara baik dan benar. Bahkan sebenarnya, dengan faktor windfall APBN di atas, pemerintah seharusnya membuka opsi untuk menambah jumlah penerimaan bantuan di tahun ini,” kata Yusuf saat dihubungi kumparan, Jumat (4/3).
Dengan adanya konflik Rusia dengan Ukraina, kata dia, tentu ekspektasi terkait terganggunya distribusi dari komoditas tersebut mengalami peningkatan. Selain itu, kenaikan harga minyak pada akhirnya juga mendorong kenaikan komoditas substitusi seperti batu bara. Sebab, batu bara bisa dijadikan sebagai bahan pengganti energi minyak dan gas.
ADVERTISEMENT
“Karena banyak negara berpotensi meningkatkan permintaan batu bara jika mereka sulit mendapatkan minyak dan gas. Maka menjadi wajar kenaikan harga energi mengalami kenaikan saat ini,” terang Yusuf.
Sementara itu, pada Mei 2022, harga gandum sempat menyentuh level tertinggi yaitu USD 522,29 per ton. Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Tepung Terigu (Aptindo) Ratna Sari Loppies menyebut harga gandum internasional saat ini memang sudah naik gila-gilaan, lebih dari 60 persen.
Hal ini langsung berdampak pada biaya produksi gandum pada mi instan yang menurutnya juga naik di kisaran 60 persen. Kenaikan ini menyebabkan harga mi instan ikut naik.
Pasalnya, Indonesia masih ketergantungan pada impor gandum yang di antaranya disuplai dari Rusia dan Ukraina. Perang ini membuat stok gandum di Ukraina tidak memungkinkan untuk diekspor ke luar negeri. Padahal, produksi gandum global sebesar 30 hingga 40 persen diproduksi dari Rusia, Ukraina dan Belarusia.
ADVERTISEMENT
Harga Komoditas Alami Lonjakan di Tengah Perang Rusia dan Ukraina
Ilustrasi kapal tongkang membawa batu bara di sungai Mahakam. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Harga komoditas ekspor unggulan batu bara hingga crude palm oil (CPO) justru mengalami peningkatan selama perang Rusia dan Ukraina.
Executive Director Energy Watch Mamit Setiawan menilai bahwa kenaikan harga batu bara merupakan hukum bisnis perdagangan di mana permintaan (demand) yang tinggi tidak diimbangi dengan penawaran (supply) yang mencukupi.
Banyak negara yang sedang memasuki musim dingin membuat kebutuhan batu bara ikut mengalami peningkatan. Tak hanya itu, China yang industrinya mulai bergeliat turut membutuhkan banyak batu bara.
"Uni Eropa mau tidak mau kembali menggunakan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mereka sebagai sumber energi," ujar Mamit kepada kumparan, Jumat (16/9).
Untuk Indonesia, kata dia, sebagai negara dengan ekspor batu bara yang sangat besar maka kenaikan ini memberikan dampak yang sangat signifikan bagi industri batu bara. Indonesia berpotensi mengalami peningkatan dari sektor penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan juga pajak dari industri batu bara.
ADVERTISEMENT
Kemudian, Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi melarang ekspor minyak goreng beserta bahan bakunya agar kebutuhan dalam negeri bisa terpenuhi. Dampak dari larangan ekspor ini mempengaruhi seluruh dunia.
Indonesia adalah produsen terbesar di dunia dengan cakupan hingga 59 persen produksi dunia. Sehingga, harga CPO dunia merangkak naik karena pasokan yang hilang dari Indonesia saat produksi Malaysia menghadapi tekanan dari krisis tenaga kerja.