Setelah AS vs China, Perang Dagang Kini Meluas ke Jepang vs Korsel

11 Juli 2019 15:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
PM Jepang Shinzo Abe dan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in (kiri). Foto: AFP/Brendan Smialowski
zoom-in-whitePerbesar
PM Jepang Shinzo Abe dan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in (kiri). Foto: AFP/Brendan Smialowski
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Efek perang dagang di kawasan Asia meluas. Persoalan antara Amerika Serikat (AS) dan China belum kelar, kini perang dagang justru muncul antara Jepang dan Korea Selatan (Korsel).
ADVERTISEMENT
Yang menarik, kedua negara itu merupakan sekutu dekat AS. Jepang membatasi ekspor produk hi-tech ke Korsel mulai 4 Juli 2019. Hal itu sebagai bentuk balasan terhadap putusan hukum Mahkamah Agung Korsel, atas sejarah kelam di masa perang kedua negara.
Bila pemicu perang dagang AS-China karena persoalan defisit perdagangan hingga aturan perlindungan hak cipta yang tak adil, kasus Jepang-Korsel berbeda jauh.
Konflik Jepang-Korsel bermula dari peristiwa sejarah, yakni saat Jepang menjadikan negeri K-Pop sebagai negara jajahan periode 1901-1945. Ditulis Wall Street Journal (WSJ), Kamis (11/7), persoalan dipicu keputusan Mahkamah Agung Korsel pada Oktober 2018 yang menghukum perusahaan Jepang yang beroperasi di Korsel, yakni Nippon Steel Corp.
Nippon Steel diminta memberi kompensasi terhadap warga Korsel korban kerja paksa dan perbudakan seks, pada periode penjajahan. Hukuman kali ini menyasar ke perusahaan, bukan hanya Jepang sebagai negara.
ADVERTISEMENT
Jepang pun menolak putusan ini. Termasuk menolak melibatkan perusahaan mereka dalam sejarah masa lalu. Alasannya, persoalan terkait kerja paksa telah diselesaikan melalui hubungan diplomatik pada tahun 1965. Saat itu, Jepang sepakat memberikan kompensasi berupa bantuan ekonomi senilai USD 300 juta.
Karena hukuman menyasar perusahaan, maka Jepang melakukan aksi balasan (tit-for-tat) kepada Korsel. Seperti putusan MA Korsel, aksi balasan Jepang juga mengarah ke perusahaan-perusahaan di Negeri Gingseng. Jepang membatasi dan memperketat ekspor komponen penting untuk bahan baku industri hi-tech di Korsel.
"Langkah Jepang ini bertentangan dengan regulasi World Trade Organization. Kita melakukan komunikasi dengan industri dan mencari pembelaan merujuk ke aturan nasional dan internasional," kata Wakil Menteri Perdagangan dan Investasi Korsel, Park Tae-sung dikutip WSJ.
Smartphone Samsung Galaxy A80. Foto: Bianda Ludwianto/kumparan
Ekspor bahan baku yang dibatasi adalah Fluorinated Polyamide atau bahan baku membuat layar smartphone atau televisi. Kemudian Photoresist untuk bahan memproduksi chips smartphone. Juga High-purity Hydrogen Fluoride untuk membersihkan chips.
ADVERTISEMENT
Jepang menguasai 90 persen pasokan dunia untuk Photoresist, sedangkan High-purity Hydrogen Fluoride dan Fluorinated Polyamide masing-masing mencapai 70 persen.
Samsung Electronics, SK Hynix Inc., dan LG Display Co. merupakan perusahaan-perusahaan asal Korsel yang paling terkena dampak dari larangan ekspor Jepang. Karena bisnis tiga korporasi Korsel itu, bergantung pada produksi semikonduktor dan komponen lainnya yang dipasang di smartphone, serta peralatan elektronik lainnya yang dipakai di seluruh dunia.
Samsung tercatat sebagai produsen semikonduktor dan memory chips terbesar di dunia.
Profesor Ha Jong-moon dari Hanshim University menilai kebijakan larangan ekspor bahan baku dari Jepang bakal mengganggu ekonomi Korsel karena ekspor semikonduktor mencapai USD 126,7 miliar atau setara 21 persen total ekspor Korsel.
ADVERTISEMENT
Juru bicara Samsung dan SK Hynix menolak komentar Sementara LG mengaku tidak menggunakan bahan baku Fluorinated Polyimide untuk produksi massal komponen smartphone dan TV.
Pasca-sanksi ini, eksportir di Negeri Sakura wajib mengajukan izin setiap kali mau mengirimkan ketiga komponen dan suku cadang teknologi lainnya ke Korsel. Proses perizinan akan memakan waktu 90 hari.
"Kita tidak punya pilihan, tapi hubungan saling percaya (bilateral) Jepang dan Korsel memang runtuh," kata Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang.
Aksi Boikot Produk Jepang
Aksi Jepang ini sebetulnya bisa merugikan mereka sendiri. Menurut analis, keputusan PM Shinzo Abe justru mengganggu bisnis perusahaan Jepang di Korsel. Jaringan distribusi perusahaan Jepang juga terganggu karena menggunakan komponen semiconductor dan komponen hi-tech lainnya buatan Korsel.
ADVERTISEMENT
"Sanksi tidak baik bagi perusahaan Jepang karena manufaktur Jepang dan Korsel saling terkait. Pemenang satu-satunya adalah China," kata Profesor dari Waseda Business School Jepang, Atsushi Osanai.
Warga Korsel juga menggaungkan protes untuk membalas Jepang. Muncul ajakan boikot produk-produk Jepang di media sosial. Sentimen anti-Jepang juga meningkat. Boikot ini bisa mengganggu ekonomi Jepang.
Korsel bagi Jepang juga merupakan mitra dagang penting, yakni ekspor ketiga tertinggi. Ditulis South China Morning Post (SCMP), ekspor Jepang ke Korsel mencapai USD 53,4 miliar di 2018.
Menurut data Bloomberg, perdagangan antara kedua negara sangat signifikan. Korsel mengalami defisit perdagangan dengan Jepang USD 24,08 miliar di 2018, atau sebesar USD 76,3 miliar selama 5 tahun atau sejak 2014.
ADVERTISEMENT
Perusahaan Korsel pada 5 bulan pertama di 2019 membeli USD 103,52 juta photoresists, hydrogen fluoride USD 28,44 juta, dan fluorinated polyamides USD 12,14 juta.
Kunjungan turis asal Korsel ke Jepang, menurut Japan Tourism Agency, berkontribusi hingga 13 persen terhadap total belanja turis asing di Jepang atau setara 584,2 miliar yen sepanjang 2018.
Asosiasi Supermarket Korsel yang membawahi 23.000 toko akan menghentikan sementara penjualan produk bir (Asahi dan Kirin) dan rokok (Mild Seven) asal Jepang.
"Kita akan hadapi sikap Jepang dan balasan terukur," kata Ketua Asosiasi Supermarket Korsel, Lim Won-bae dikutip SCMP.