Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
ADVERTISEMENT
Tumbangnya seluruh bisnis 7-Eleven Indonesia pada akhir Juni lalu berbuntut panjang. Mulai dari utang yang menumpuk, dikejar-kejar pajak, ribuan mantan karyawan yang belum dibayarkan gajinya, kreditur yang menuntut pembayaran utang, sampai terancam pailit.
ADVERTISEMENT
PT Modern Sevel Indonesia (MSI), operator bisnis 7-Eleven, baru saja mengumumkan kepada seluruh kreditur, bahwa aset-aset perusahaan yang tersisa belum mencukupi untuk membayar seluruh utang yang mencapai sekitar Rp 1 triliun. Anak usaha PT Modern Internasional Tbk (MDRN) tersebut kemarin (14/8) telah mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) kepada sekitar 200 kreditur. Kreditur ini tidak hanya bank atau lembaga keuangan saja, tapi juga supplier barang dan jasa yang belum mendapat pembayaran bahkan sejak 2015.
Direktur Utama MDRN, Sungkono Honoris dan konsultan hukum perusahaan, Joel Hogarth dari Borelli Walsh menjelaskan duduk perkara PKPU tersebut. Perseroan mengajukan permohonan pembayaran hanya 13-28 persen utang (tergantung besarannya). MSI meminta waktu 6 bulan kepada kreditur untuk menentukan sikap apakah menerima atau tidak PKPU tersebut.
ADVERTISEMENT
"Jika 2/3 kreditur setuju dengan PKPU ini, maka akan kami proses pembayarannya. Namun, jika tidak, kami akan mengajukan pailit ke Pengadilan Niaga," ujar Joel dalam pertemuan dengan kreditur di Hotel Acacia, Jakarta.
Kondisi pailit memang tidak diinginkan perseroan, karena artinya seluruh harta dan aset akan dijual melalui Balai Lelang Pengadilan. Namun menurut Joel, harganya akan lebih rendah dari pada jika dijual normal sehingga tidak akan maksimal untuk membayar utang.
Ia menjelaskan, saat ini MSI tengah bernegosiasi dengan pihak Seven Eleven Inc (SEI) di Amerika untuk mendapatkan security deposit karena berakhirnya kontrak MSI sebelum jatuh tempo yaitu 2019. Dengan ini, perusahaan tak wajib membayar royalti, sehingga security deposit sekitar Rp 61 miliar bisa diminta.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ada sejumlah aset di gerai seperti mesin kopi, mesin panggang dan kulkas yang akan dijual. Ada juga sisa-sisa barang yang dijual, seperti rokok yang nilainya masih tinggi. Jumlah aset ini sekira Rp 30 miliar.
Selain itu, ada juga biaya uang sewa gerai yang biasanya dibayarkan untuk 5 tahun, dan dibayarkan penuh di depan.
"Ada sekitar 60 gerai yang kita bayar biaya sewa nya di depan, rata-rata ada yang masih tersisa untuk 2-3 tahun karena toko kan sudah tutup semua sebelum selesai jangka waktu," jelas Joel.
kumparan juga menanyakan langsung kepada sejumlah kreditur, apakah mereka akan menerima PKPU dari MSI. Mereka kompak mengatakan tidak terima.
ADVERTISEMENT
Salah satu kreditur mengaku menyuplai makanan olahan terutama bakso dan sosis ke Sevel. Ia menyebutkan, perusahaan sudah setahun menunggak pembayaran, yang membengkak hingga lebih dari Rp 100 juta.
"Tentu saya tidak terima dengan permohonan mereka. Awalnya saya pikir semua kreditur dikumpulkan untuk diselesaikan pembayarannya. Tapi ternyata begini. Saya juga enggak nyangka banyak sekali yang datang," ujar kreditur tersebut.
Kreditur lain mengatakan, pihaknya tidak terima jika Sevel hanya membayar sebagian utang. Kreditur merupakan perwakilan perusahaan yang menyuplai layanan jasa kepada Sevel. Ia mengaku Sevel sudah menunggak pembayaran ratusan juta rupiah sejak 2015.
"Tentu saja kami tidak terima. Tapi kalau pailit, mereka bebas dari tanggung jawab. Ini yang akan kita bicarakan lebih lanjut," jelas kreditur tersebut.
ADVERTISEMENT
Ada juga kreditur dari perusahaan konstruksi, yang mengaku MSI menunggak pembayaran renovasi tiga gerai mereka sejak tahun 2015.
"Totalnya kira-kira mencapai Rp 500 juta. Memang pada 2015 itu bisnis mereka sudah mulai goyah. Sebelumnya perusahaan saya merenovasi gerai di Tebet, dan tidak ada masalah, langsung dibayar lunas," kata kreditur dari perusahaan konstruksi tersebut.
Usai pertemuan, ratusan kreditur tetap memenuhi ruangan dan bertanya secara langsung kepada Sevel dan Joel. Mereka menanyakan macam-macam, mulai alasan sebenarnya kerugian Sevel, kegagalan akuisisi oleh PT Charoen Pokphand Tbk, hingga menuntut perusahaan menyelesaikan kewajibannya.
Seorang kreditur bernama Eka, meminta seluruh kreditur untuk membicarakan hal ini dalam pertemuan dalam waktu dekat.
"Ya kami kumpulkan dulu kontak semua kreditur, nanti akan kami bicarakan langkah selanjutnya kami mau bagaimana," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Untuk diketahui, Sevel sudah ada di Indonesia sejak 2009. Jumlah gerainya tertinggi pada 2014 mencapai 190. Namun, Sevel mulai mengalami keterpurukan pada 2015, karena pelarangan penjualan minuman beralkohol oleh pemerintah. Kesalahan strategi dan tidak membaca kebutuhan pasar membuat Sevel kalah bersaing dan terpaksa melakukan penutupan toko. Hingga akhir Juni 2017, Sevel memutuskan menyerah dan mengumumkan penutupan seluruh gerainya.
Adapun total liabilitas MDRN berdasarkan laporan keuangan kuartal I-2017 mencapai Rp 1,38 triliun, meningkat dari periode sama tahun lalu yang sebesar Rp 1,34 triliun. Sedangkan aset perseroan turun menjadi Rp 1,57 triliun dari sebelumnya Rp 1,98 triliun.