Singapura hingga Swedia Sudah Lebih Dulu Bedakan Tiket KRL Orang Miskin dan Kaya

4 Januari 2023 14:35 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana di Stasiun Sudirman, Jakarta, Jumat (30/12/2022). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana di Stasiun Sudirman, Jakarta, Jumat (30/12/2022). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Wacana tarif kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek akan dibedakan untuk orang kaya dan miskin menuai berbagai respons dari masyarakat. Namun ternyata, sistem tarif ini sudah dilakukan oleh banyak negara.
ADVERTISEMENT
Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata Djoko Setijowarno menilai positif kebijakan ini. Menurut dia, subsidi transportasi umum dapat dibedakan tergantung kemauan politik pemerintahnya dan ketersediaan anggaran.
Djoko menyebutkan, layanan transportasi umum Bus Trans Jateng dan Bus Trans Semarang bahkan sudah memberlakukan pembedaan tarif untuk kelompok umum, pelajar, mahasiswa, buruh, dan lansia.
"Hingga sekarang cukup lancar dan tidak bermasalah. Malahan, buruh merasa terbantu dengan tarif khusus itu, dapat mengurangi pengeluaran ongkos transportasi untuk bekerja," jelasnya dalam keterangan tertulis, Rabu (4/1).
Dia juga mengungkap sudah banyak negara yang menerapkan sistem subsidi tepat sasaran bagi transportasi umumnya. Perbedaan tarif biasanya berlaku untuk kelompok masyarakat lansia, pelajar, disabilitas, hingga kelompok miskin dan pengangguran.
Djoko memaparkan, penerapan perbedaan tarif berlaku di Singapura dengan memberikan diskon 25 persen bagi lansia dan 50 persen bagi disabilitas dan pelajar. Negara bagian Victoria di Australia menerapkan pemberian subsidi bagi lansia, disabilitas dan pelajar pada jam tidak sibuk sebesar 30 persen.
ADVERTISEMENT
Kemudian, Amerika Serikat memberikan diskon 20-50 persen untuk warga berpenghasilan di bawah upah standar. Metrolink di Kota Manchester Inggris juga menerapkan tarif diskon 50 persen untuk penumpang berpendapatan per bulan kurang dari rata-rata dan 35 persen untuk lansia dan disabilitas.
"Negeri Swedia memberikan keringanan tarif bagi warga berstatus kesejahteraan tertentu (tidak bekerja karena cacat) dan manula. Wilayah Regional Marche Italia memberikan tarif diskon bagi pengangguran sebesar 50 persen," papar Djoko.
Suasana di Stasiun Sudirman, Jakarta, Jumat (30/12/2022). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan

Subsidi KRL Jabodetabek Harus Dialihkan

Djoko menilai subsidi KRL Jabodetabek seharusnya dialihkan untuk pengembangan transportasi umum lain. Dia mencatat, subsidi (public service obligation/PSO) untuk KRL Jabodetabek tahun 2022 sebesar Rp 1,8 triliun, lalu menurun di tahun 2023 yakni Rp 1,6 triliun.
ADVERTISEMENT
Dia membandingkan subsidi untuk daerah 3 T (Terdepan, Terpencil dan Tertinggal) dan perbatasan dengan bus perintis di Indonesia hanya Rp 177 miliar untuk 327 trayek. Sementara subsidi angkutan perintis penyeberangan di 273 lintas Rp 584 miliar, dan angkutan perkotaan di 10 kota hanya Rp 500 miliar.
Djoko juga menyarankan, subsidi KRL dapat dialokasikan untuk pengembangan layanan transportasi dari tempat tinggal ke stasiun (first mile) dan layanan transportasi dari stasiun ke tempat tujuan (last mile), khususnya di Jabodetabek, untuk mengurangi beban ongkos masyarakat.
Berdasarkan, Policy Research Working Paper 4440 World Bank, belanja transportasi yang tepat bagi masyarakat adalah maksimal 10 persen dari upah bulanannya. Sedangkan menurut Survei Badan Litbang Perhubungan tahun 2013, ketika ditetapkan tarif KRL Jabodetabek satu harga, total ongkos pengguna masih 32 persen dari pendapatan bulanan.
ADVERTISEMENT
"Kita jangan fokus hanya pada tarif KRL Jabodetabek, namun bagaimana kita merancang ongkos transportasi warga bisa kurang dari 10 persen dari pendapatan bulanan. Prancis dan Singapura sudah bisa menekan hingga 3 persen, sedangkan China 7 persen," ungkapnya.
Djoko pun menyambut positif usulan subsidi tepat guna yang digaungkan Kementerian Perhubungan, sebab rencana tersebut sebetulnya sudah diusulkan sejak tahun 2018 namun belum ditanggapi dengan serius oleh pemerintah saat itu.
"Tidak ada salahnya jika sekarang perlu dipertajam lagi kajiannya, sehingga pada saat yang tepat dapat diterapkan setelah dilakukan beberapa sosialisasi ke masyarakat," pungkasnya.