Skema Power Wheeling di RUU EBT Ditarik, Pengamat Waspadai Pasal Siluman

22 Januari 2023 14:50 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi gardu listrik PLN. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gardu listrik PLN. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemerintah resmi mencabut aturan power wheeling dari Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBT) yang telah diserahkan kepada DPR.
ADVERTISEMENT
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menjelaskan power wheeling merupakan mekanisme yang membolehkan perusahaan swasta (Independent Power Producers/IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual listrik kepada pelanggan rumah tangga dan industri.
Penjualan listrik swasta tersebut menggunakan jaringan distribusi dan transmisi milik PT PLN (Persero) melalui open source dengan membayar fee yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM.
Meski sudah ditarik dari DIM RUU EBET, Fahmy mewaspadai adanya pasal serupa power wheeling yang tercantum di beleid tersebut. Dia menilai, aturan power wheeling akan membebani negara dan masyarakat.
"Semua pihak harus ikut mengawal proses pembahasan RUU EBT agar sesuai dengan DIM, sehingga tidak ada lagi penyelundupan pasal siluman serupa dengan power wheeling yang tidak sesuai dengan DIM," ujarnya melalui keterangan tertulis, Minggu (22/1).
ADVERTISEMENT
Fahmy mengatakan, penerapan power wheeling berpotensi menambah beban APBN yang merugikan negara. Pasalnya, power wheeling akan menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga 30 persen dan pelanggan non-organik hingga 50 persen.
Penurunan jumlah pelanggan PLN tersebut, lanjut dia, selain dapat memperbesar kelebihan pasokan PLN juga dapat menaikkan harga pokok penyediaan (HPP) listrik. Dampaknya terjadi pembengkakan beban APBN untuk membayar kompensasi kepada PLN sebagai akibat tarif listrik di bawah HPP dan harga keekonomian.
"Power wheeling juga berpotensi merugikan rakyat sebagai konsumen dengan penetapan tarif listrik yang diserahkan pada mekanisme pasar. Dengan power wheeling, penetapan tarif listrik ditentukan oleh demand and supply, pada saat demand tinggi dan supply tetap, tarif listrik pasti akan dinaikkan," jelas Fahmy.
ADVERTISEMENT
Dia menambahkan, power wheeling merupakan upaya liberalisasi kelistrikan yang melanggar Pasal 33 ayat 2 UUD 1945, yakni cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Lebih lanjut, dia berkata power wheeling sesungguhnya merupakan pola unbundling yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Pola unbundling itu sudah dibatalkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 111/PUU-XIII/2015 MK.
MK menilai bahwa unbundling dalam kelistrikan tidak sesuai dengan UUD 1945. UU tersebut pun diganti dengan UU No.30 Tahun 2009 dengan menghilangkan pasal unbundling.
"Berhubung power wheeling berpotensi merugikan negara dan memberatkan rakyat serta melanggar UUD 1945, UU ketenagalistrikan, dan Keputusan MK, penarikan pasal power wheeling dari RUU EBT merupakan langkah yang sangat tepat," pungkas Fahmy.
ADVERTISEMENT