SKK Migas soal OPEC+ Pangkas Produksi: Baik untuk Hulu, Tapi Beban untuk Subsidi

17 Oktober 2022 16:01 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
11
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kepala SKK Migas, Dwi Sutjipto, meninjau control room di Float Processing Unit (FPU) Jokotole yang dikelola Kangean Energy Indonesia Ltd. Foto: Wendiyanto/ kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kepala SKK Migas, Dwi Sutjipto, meninjau control room di Float Processing Unit (FPU) Jokotole yang dikelola Kangean Energy Indonesia Ltd. Foto: Wendiyanto/ kumparan
ADVERTISEMENT
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) buka suara mengenai keputusan organisasi negara-negara pengekspor minyak atau OPEC+ memangkas target produksi 2 juta barel per hari (BOPD).
ADVERTISEMENT
Kepala SKK Migas Dwi Sutjipto mengatakan, keputusan OPEC+ tersebut tentu berdampak besar kepada industri migas di Indonesia. Terlebih adanya gesekan antara Amerika Serikat (AS) dengan Arab Saudi, harga minyak dunia akan terus melambung.
Dwi mengatakan, harga minyak dunia sempat melemah sampai USD 80 per barel, bahkan ada kemungkinan turun hingga USD 60 per barel. Namun, setelah keputusan OPEC+ keluar, harga kembali naik di rentang USD 90 per barel. Hal ini, menurut dia, adalah berkah bagi industri hulu migas.
"Tentu kalau buat Indonesia di hulu migas akan bagus, karena demikian motivasi orang berinvestasi akan lebih baik karena keekonomiannya juga akan bagus," ujarnya saat konferensi pers kinerja SKK Migas kuartal III 2022, Senin (17/10).
Pekerja PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) mengontrol keran pipa produksi yang berasal dari sumur menuju stasiun pengumpul minyak mentah Central Gathering Station (CGS) 10 Field Duri, Blok Rokan, Bengkalis, Riau. Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
"Buat Indonesia sendiri akan bagus karena kita teman dari keduanya, Amerika teman, Arab Saudi juga teman, jadi kita tidak berada dalam konflik itu," tambah Dwi.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, dia melihat peluang peningkatan investasi di hulu migas ini juga harus direspons dengan perbaikan iklim investasi. Meski begitu, dia juga melihat dampaknya akan buruk di sektor hilir migas atau level konsumen.
Menurut dia, harga minyak dunia yang tinggi akan meningkatkan biaya impor minyak maupun BBM Indonesia yang masih menjadi net importir minyak. Hal ini akan berdampak kepada hilir migas, terutama beban subsidi BBM.
"Kita juga impor minyak, termasuk BBM, tentu saja menjadi costly karena harga crude lebih mahal. Di level mana keseimbangan antara benefit yang diperoleh di upstream dengan cost yang muncul untuk subsidi, tentu ini perlu dicari," jelas Dwi.
Logo Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) di Aljir, Aljazair Foto: Ramzi Boudina/REUTERS
Sehingga, Dwi pun menyimpulkan keputusan pemangkasan produksi OPEC+ yang berkontribusi kepada 90 persen produksi dunia ini sementara akan menekan beban subsidi, namun akan menarik lebih banyak investasi di hulu migas.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Deputi Perencanaan SKK Migas, Benny Lubiantara, menambahkan dampak keputusan OPEC+ secara keseluruhan akan baik untuk industri migas di Indonesia, terutama di hulu.
"Tapi secara makro sebagai net importir tentu dampaknya negatif. Terkait implikasi pemotongan OPEC+, kan biasanya selesai sidang OPEC+ ada keputusan, pemotongan atau menaikkan (produksi), ini langsung direspons oleh market misalnya dengan kenaikan harga," tutur Benny.
Ilustrasi SKK Migas. Foto: SKK Migas
Meski begitu, Benny menilai jika pemangkasan produksi belum tentu akan mengurangi jumlah pasokan minyak di pasar lantaran tergantung compliance atau kepatuhan negara anggota, termasuk Rusia, terhadap keputusan itu.
"In the past kadang-kadang problem dari pasar itu kita ada inisiatif curang, kalau harga naik kalau saya bisa produksi lebih kenapa tidak? Maka nanti kita lihat dulu compliance factor itu yang suka mendisrupsi," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Dia mengatakan, jika para anggota pengekspor minyak tetap menggenjot produksi, berarti tidak akan ada pengurangan pasokan hingga 2 juta barel per hari seperti yang disepakati. Proyeksi harga pun tidak bisa dipastikan.
"Itu akan dilihat beberapa minggu ke depan, benar tidak in reality ada berapa yang hilang dari pemotongan (produksi) OPEC+ itu," pungkas Benny.