Soal Impor Sapi atau Susu untuk Makan Bergizi Gratis, Lebih Realistis yang Mana?

13 September 2024 17:12 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Berdikari impor sapi untuk penuhi kebutuhan daging, Kamis (4/4/2024) Foto: Dok Berdikari
zoom-in-whitePerbesar
Berdikari impor sapi untuk penuhi kebutuhan daging, Kamis (4/4/2024) Foto: Dok Berdikari
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kementerian Pertanian (Kementan) sedang ikut menyiapkan susu sapi untuk program Makan Bergizi Gratis. Berdasarkan data Kementan, kebutuhan susu di Indonesia saat ini mencapai 4,3 juta ton per tahun dan kontribusi susu dalam negeri terhadap kebutuhan susu nasional baru sekitar 22,7 persen, sisanya masih dipenuhi dari impor.
ADVERTISEMENT
Kementan mencatat sejauh ini ada 36 perusahaan yang siap berkomitmen untuk impor sapi guna kebutuhan Makan Bergizi Gratis (MBG).
Lantas, lebih realistis mana antara impor sapi dan impor susu sapi?
Pengamat peternakan dari Universitas Padjajaran, Rochadi Tawaf, menilai semua bergantung dari kebutuhan Makan Bergizi Gratis. Jika kebutuhannya dalam waktu dekat, susu dianggap lebih realistis. Sebab, impor sapi membutuhkan waktu sekitar satu sampai dua tahun untuk siap produksi susu.
“Bergantung dari kepentingannya Prabowo itu. Mau besok ya susu, kalau besok. Kalau sapi ya paling cepat setahun atau dua tahun lagi. Kan gitu. Kalau sapi nunggu bunting, nunggu kandang, nunggu beranak, nunggu pakan, nunggu tenaga kerja. Kan investasi itu sekarang kandangnya mana? Belum ada,” kata Rochadi kepada kumparan, Jumat (13/9).
ADVERTISEMENT
Rochadi melihat proses impor sapi membutuhkan berbagai kesiapan mulai dari pangan sampai lahan. Hal inilah yang membuat waktu persiapannya cukup panjang.
Proses pengolahan susu sapi lokal. Foto: Dok. Frisian Flag Indonesia
Menteri Pertanian Amran Sulaiman telah menginisiasi menginisiasi mutual of understanding (MoU) antara PT Asiabeef Biofarma Indonesia (Asiabeef) dengan Agropecuaria 31 (31 Group).
MoU tersebut berisi komitmen kerja sama investasi pengembangan 100.000 ekor ternak sapi perah tropis asal Brasil yang akan dilaksanakan di Indonesia dalam rangka mendukung peningkatan produksi susu di Tanah Air. Investasi diperkirakan bernilai Rp 4,5 triliun.
Jika harus mengimpor susu, proses kesiapan produksi susu memang lebih cepat ketimbang impor sapi. Meski begitu, Rochadi menyebut opsi ini hanya menguntungkan peternakan luar negeri.
“Siapa yang menikmati? Ya peternakan luar negeri. Sama fee-nya dari siapa? Ya pejabat. Ya gitu kan. Paling cepatnya susu, besok telepon, angkat. Ya enggak seminggu, mungkin dua minggu ya, udah dateng,” tutur Rochadi.
ADVERTISEMENT
Rochadi juga menyoroti upaya Mentan Amran juga sebelumnya membahas peluang perusahaan susu asal Qatar, Baladna Milk, untuk bisa menyuplai pasokan susu buat program Makan Bergizi Gratis.
Rochadi menyebut jika harus mengimpor susu, bisa jadi kualitasnya bukan susu teratas atau ada protein yang berkurang. Ia mengusulkan ketika ada susu sapi dengan kualitas bawah, susu tersebut bisa dicampur dengan susu ikan atau sari ikan.
“Seperti tadi kan di-blend gitu kan, jadi peranan susu murninya terpenuhi, proteinnya untuk masyarakat terpenuhi. Stunting teratasi, ibu hamil teratasi. Karena kita masih kekurangan protein. Nah proteinnya ini disubstitut diisi oleh sari ikan. Ini luar biasa, kalau menurut saya ini luar biasa manfaatnya. Tapi kan sekarang kecenderungannya seolah-olah menyalahkan, bahwa susu ikan ini enggak pantas,” tutur Rochadi.
ADVERTISEMENT