Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia menegaskan akan menggugat keputusan Komisi Uni Eropa ke Badan Perdagangan Dunia atau WTO. Gugatan tersebut terkait dengan keputusan Komisi Eropa soal penyetopan konsumsi kelapa sawit penggunaan minyak kelapa sawit (CPO) sebagai sumber bahan bakar kendaraan. Keputusan Komisi Eropa dinilai merugikan industri kelapa sawit Indonesia.
ADVERTISEMENT
Keputusan ini diambil setelah Komisi Uni Eropa berkesimpulan bahwa budi daya kelapa sawit mengakibatkan deforestasi berlebihan, sehingga penggunaannya dalam bahan bakar transportasi harus dihapuskan.
Komisi Uni Eropa memperoleh data bahwa 45 persen dari ekspansi produksi minyak sawit sejak 2008 menyebabkan kerusakan hutan, lahan basah atau lahan gambut, dan pelepasan gas rumah kaca yang dihasilkan. Itu dibandingkan dengan 8 persen untuk kedelai dan 1 persen untuk bunga matahari dan rapeseed.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Ekonomi Internasional Fithra Faisal berpendapat, sulit bagi Indonesia untuk memenangkan gugatan di WTO. Sebab perkara ini masuk kategori non-tariff barrier atau bukan hambatan tarif.
"Jadi dalam hal konteks pembahasannya nanti saya kira akan cukup abstrak. Dan sangat sulit. Karena memang non-tariff barrier itu sangat sulit dibuktikan," katanya kepada kumparan, Sabtu (16/3).
ADVERTISEMENT
Selain itu, Fithra menyarankan agar pemerintah Indonesia tidak terburu-buru untuk membawa perkara ini ke WTO. Sebab, saat ini Indonesia dan Uni Eropa juga dalam negosiasi terkait keputusan Renewable Energy Directive II (RED II).
RED II merupakan kebijakan yang dibuat Uni Eropa untuk meningkatkan energi terbarukan di wilayah mereka dalam periode 2020-2030 sebanyak 32 persen. Dalam aturan itu, kelapa sawit menjadi salah satu produk yang terkena dampak karena Uni Eropa bakal menyetopnya pada 2030.
"Saya rasa timbang ke UE dengan CPO. Kita tunggu saja sebenarnya hasil dari kerja sama indonesia (dengan) Eropa," katanya.
Apalagi gugatan ke WTO akan memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. "Nah dari itu jauh lebih bisa dikomunikasikan ketimbang harus buang buang uang untuk WTO. (Sebab) Itu kita bisa nyewa pengacara itu minimal USD 6-10 juta itu level medioker. Kalau mau yang pasti menang itu mahal sekali dan itu tidak ada yang pasti (menang)," Fithra menerangkan.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya itu, ia pun mengaku pernah melakukan penelitian terhadap persoalan yang sama, yaitu non-tarrif barier antara komoditi teh dari Indonesia dengan Jepang. Hasilnya, kata dia, memang sulit menang jika tidak ada argumen yang kuat perkara nontarif.
"Bukan hanya itu ya, gimick seperti ini pun kurang baik ya saya kira membawa perkara ke WTO di tengah kita sedang negosiasi dengan Eropa," tutupnya.