Sri Mulyani Akui Pemerintah Masih Utang Rp 104,8 T ke Pertamina & PLN

23 Agustus 2022 18:21 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Keuangan Sri Mulyani bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/3/2021). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Keuangan Sri Mulyani bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/3/2021). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengungkapkan pemerintah belum membayar dana kompensasi tahun 2021 atau masih berutang kepada PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) senilai Rp 104,8 triliun.
ADVERTISEMENT
Sri Mulyani menjelaskan, dana kompensasi yang seharusnya dibayar tahun lalu tersebut akhirnya dimasukkan kepada alokasi subsidi dan kompensasi energi di APBN 2022 yang telah membengkak sebesar Rp 502,2 triliun.
Dia memaparkan, pada tahun 2021, realisasi pembayaran subsidi energi dan kompensasi mencapai Rp 188,3 triliun, terdiri dari Rp 140 triliun subsidi, dan Rp 47,9 triliun dana kompensasi.
"Pembayaran kompensasi sebesar Rp 47,9 triliun tersebut belum menyelesaikan seluruh utang kompensasi sampai dengan akhir tahun 2021. Dengan demikian, terjadi pergeseran beban kompensasi BBM ke tahun 2022 yaitu sebesar 104,8 triliun," jelas Sri Mulyani saat rapat dengan Badan Anggaran DPR, Selasa (22/8).
Menkeu melanjutkan, APBN 2022 terpaksa harus menanggung selisih subsidi dan kompensasi tahun lalu sebesar Rp 104,8 triliun tersebut. "Plus ternyata dengan kenaikan BBM yang makin melonjak, kita sampai harus menaikkan subsidi dan kompensasi tahun ini yang mencapai 3 kali lipat yaitu Rp 502 triliun," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Sri Mulyani menyebut harga minyak dunia akan terus tinggi sehingga anggaran subsidi dan kompensasi senilai Rp 502 triliun tersebut diperkirakan akan habis dan tidak mencukupi kebutuhan hingga akhir tahun.
"Kita memperkirakan apabila laju konsumsi seperti yang terjadi pada 7 bulan terakhir ini, maka Rp 502 triliun akan habis dan masih akan ada tambahan lagi," tegasnya.
Dia menilai, proyeksi tersebut adalah konsekuensi jika pemerintah tidak menyesuaikan harga BBM dan listrik, terutama kenaikan harga BBM yang diatur pemerintah alias BBM subsidi.
"Sementara harga ICP (Indonesia Crude Price) dalam perekonomian global terus mengalami kenaikan, ini yang disebut sebagai shock absorber. APBN meng-absorb shock yang sangat besar berasal dari kenaikan BBM atau ICP yang terjadi secara global," pungkasnya.
ADVERTISEMENT