Sri Mulyani: AS Merasa Dizalimi, Padahal Mereka yang Ciptakan Sistem

30 April 2025 16:24 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers secara virtual di Jakarta, Jumat (25/4/2025).  Foto: Dok. Tangkapan Layar Zoom
zoom-in-whitePerbesar
Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers secara virtual di Jakarta, Jumat (25/4/2025). Foto: Dok. Tangkapan Layar Zoom
ADVERTISEMENT
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyoroti perubahan yang terjadi dalam sistem perekonomian global, terutama karena pengaruh Amerika Serikat (AS).
ADVERTISEMENT
Sri Mulyani baru saja pulang dari Spring Meetings IMF dan Bank Dunia di Washington Amerika Serikat. Dia mengungkapkan, Amerika Serikat yang selama ini menjadi arsitek sistem ekonomi global, kini merasa justru menjadi korban dari sistem yang mereka bangun sendiri.
“Amerika menciptakan sendiri sebuah rezim global, yang sekarang dianggap rezim global itu menjadi suatu rezim atau sistem yang tidak menguntungkan Amerika sendiri. Karena dianggap dimanfaatkan oleh seluruh negara di dunia untuk menuju ke marketnya,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa, Rabu (30/4).
“Amerika Serikat dan negara-negara yang kemudian melakukan praktek investasi perdagangan yang dianggap tidak adil. Jadi di Washington kemarin headline dan topik paling menonjol adalah statement Amerika bahwa mereka merasa dizalimi oleh sistem global,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Pernyataan ini muncul di tengah gejolak perdagangan internasional yang kembali menghangat pasca-kebijakan reciprocal tariff yang diluncurkan pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump. Kebijakan ini, menurut Sri Mulyani, telah menggeser cara negara-negara menyelesaikan konflik perdagangan dari forum multilateral seperti WTO menjadi negosiasi bilateral yang penuh kompleksitas.
Sri Mulyani menyoroti dampak besar dari kebijakan unilateral ini terhadap stabilitas global. Ketika proteksionisme menguat dan kerja sama antarnegara menurun, ekspor global ikut tertekan. Investor pun menahan langkah karena ketidakpastian arah kebijakan. Indonesia, dengan ekonomi terbuka dan tergabung dalam G20, turut terkena imbasnya.
“Dengan outlook investasi melemah, maka growth juga melemah. Dunia sekarang semuanya mencari strategi meredam shock tersebut. Stabilisasi menjadi barang yang sangat dibutuhkan dan dilakukan,” paparnya.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks tersebut, APBN Indonesia harus menjadi tameng utama untuk menjaga perekonomian domestik dari gejolak global. Tapi, menurutnya, APBN juga tak boleh sakit.
“APBN yang harus digunakan aktif untuk melindungi shock, melindungi masyarakat, melindungi dunia usaha, tapi APBN yang tidak boleh sakit. Itu adalah sesuatu tugas yang harus kita lakukan.”
Presiden AS Donald Trump menyampaikan pidato pencapaian 100 hari masa jabatannya di Macomb County Community College Sports Expo Center di Warren, Michigan, Selasa (29/4/2025). Foto: Jeff Kowalsky/AFP

Rivalitas Dua Kekuatan Dunia: AS vs Tiongkok

Sri Mulyani menyoroti rivalitas ekonomi antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang kian membara. AS dengan size ekonomi terbesar di dunia, menurutnya, sedang mencoba mengoreksi ketidakseimbangan dengan cara yang tidak konvensional yakni melalui tarif dagang dan negosiasi bilateral.
“Amerika mencoba mengoreksi imbalances melalui reciprocal tariff dibalas oleh RRT sebagai negara ekonomi dengan size besar kedua di dunia. Jadi size nomor satu dan nomor dua saling mengalami persaingan atau peperangan global melalui perdagangan,” katanya.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini, menurutnya, menciptakan tekanan lanjutan terhadap sistem ekonomi global. Belum ada arah baru yang jelas dari perubahan ini, dan negara-negara seperti Indonesia harus berhati-hati dalam menentukan posisi.
Sri Mulyani mengingatkan, kombinasi dari perlambatan ekonomi dan tekanan inflasi berisiko membawa dunia ke kondisi stagflasi yakni sebuah fenomena yang terakhir kali mengguncang dunia pada tahun 1970-an. Dengan gangguan rantai pasok dan suku bunga tinggi, Indonesia dan banyak negara berkembang lainnya menghadapi risiko besar.
“Kombinasi dari lemahnya ekonomi dan inflasi tinggi itu namanya stagflasi. Itu terjadi di tahun 70-an dan itu tidak cukup baik dari sisi dampaknya ke negara-negara terutama negara-negara emerging,” kata dia.
Ia pun mengingatkan pentingnya reformasi ekonomi domestik dan kesiapan sistem keuangan dalam menghadapi potensi krisis lanjutan. Menurutnya, krisis bisa muncul di negara-negara dengan sektor keuangan lemah dan ketidakpastian politik yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Di level internasional, Sri Mulyani menekankan pentingnya keberadaan financial safety net untuk membantu negara-negara yang rentan terhadap krisis. Konsep ini, yang terdiri dari tiga lapisan yakni nasional, regional, dan global, perlu diperkuat di tengah tekanan fiskal yang dihadapi banyak negara pascapandemi.
Ia juga menyoroti nasib negara-negara Afrika dan berkembang lainnya yang kini kesulitan mendapatkan akses pembiayaan akibat beban utang yang tinggi. Dalam situasi seperti ini, peran lembaga multilateral seperti IMF, ADB, dan AIIB harus ditingkatkan.
Sementara di dalam negeri, Sri Mulyani menyampaikan, reformasi struktural tetap menjadi prioritas pemerintah. Deregulasi dan perbaikan tata kelola ekonomi dibutuhkan agar Indonesia mampu menjaga daya saing dan mendorong pertumbuhan produktif.