Sri Mulyani Bakal Tarik Utang Baru Rp 991 Triliun di 2022, Untuk Apa Saja?

10 Januari 2022 13:59 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Keuangan Sri Mulyani sosialisasi UU HPP di Bandung.  Foto: Dok. Ditjen Pajak
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Keuangan Sri Mulyani sosialisasi UU HPP di Bandung. Foto: Dok. Ditjen Pajak
ADVERTISEMENT
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022, pemerintah berencana menerbitkan obligasi atau Surat Berharga Negara secara neto alias menarik utang baru senilai Rp 991,3 triliun. Penarikan utang baru ini nantinya akan digunakan untuk berbagai kepentingan.
ADVERTISEMENT
Pertama, utang tersebut akan digunakan untuk pembiayaan defisit anggaran. Seperti diketahui, pemerintah merencanakan defisit sebesar Rp 868 triliun atau 4,85 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun ini.
Salah satu sumber pembiayaan defisit datang dari utang. Total pembiayaan utang 2022 dianggarkan sebesar Rp 973,6 triliun, turun dibandingkan proyeksi 2021 yang sebesar Rp 1.027 triliun.
Selain itu, utang juga akan digunakan untuk mendanai program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pada 2022. Untuk tahun ini pemerintah menganggarkan dana sebesar Rp 414 triliun. Anggaran yang lebih kecil dari total PEN 2021 itu akan dialokasikan ke kluster kesehatan Rp 117 triliun; perlindungan masyarakat Rp 154 triliun; dan penguatan pemulihan ekonomi Rp 141 triliun.
Ilustrasi Dolar-Rupiah Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Penerbitan SBN dalam rangka pandemi COVID-19 tidak dilakukan dengan penerbitan khusus untuk menangani permasalahan ini atau Pandemic Bonds, melainkan menjadi bagian dari penerbitan SBN secara keseluruhan baik melalui lelang, penempatan khusus (private placement), penerbitan SBN ritel, maupun SBN Valas.
ADVERTISEMENT
Fleksibilitas penambahan SBN dilakukan dengan meng-upsize besaran penerbitan SBN Domestik dan Valas dengan tetap memperhatikan kondisi pasar keuangan.
Dalam kunjungannya ke Kalimantan Timur baru-baru ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan utang negara juga akan digunakan untuk membiayai pembangunan Ibu Kota Negara (IKN).
"Kita mau membangun IKN (Ibu Kota Negara), kita mau membangun infrastruktur, kita mau nyekolahin orang-orang pinter ke dunia, mau nambah dosen-dosen yang hebat, itu adalah dari kita sendiri. Sebagian dari utang yang nanti kita bayar lagi," ujar Sri Mulyani dalam Penandatanganan Prasasti Penanda Aset (SBSN), Rabu (5/1).
Untuk itu, Sri Mulyani menegaskan pengelolaan utang harus dilakukan secara baik. Misalnya dalam pembangunan IKN, perencanaannya harus matang sehingga utang negara yang sebagian digunakan terkelola dengan benar. Dengan demikian di masa depan, pemerintah akan dapat melunasi utang-utang tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam hal pembiayaan utang melalui SBN, pemerintah mengutamakan penerbitan SBN melalui mekanisme pasar, baik di pasar domestik (termasuk penerbitan SBN ritel), maupun global (penerbitan SBN valas). Saat ini untuk SBN valas yang tersedia adalah Global Sukuk (dalam USD), Global Bonds, baik konvensional (dalam USD) dan Euro Bond (dalam Euro dan USD), dan Samurai Bonds (dalam Yen).
Ilustrasi uang dolar. Foto: Aditia Noviansyah
Penerbitan SBN juga disesuaikan dengan kondisi pasar keuangan. Dengan demikian waktu dan besaran penerbitan surat utang juga menjadi faktor yang diperhatikan. Ini artinya pemerintah melakukan prinsip kehati-hatian (prudent) dengan memperhatikan resiko dan biayanya yang terkecil.
Selain itu pemerintah dapat pula melakukan penambahan SBN dengan membuka kesempatan penerbitan terhadap beberapa permintaan Private Placement dari BUMN/Lembaga, seperti LPS, BPKH dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, Pemerintah juga mempunyai fleksibilitas untuk pembiayaan yang bersumber dari development partners berupa pinjaman program, baik bilateral maupun multilateral. Tersedia opsi bagi Pemerintah untuk me-raise pembiayaan sampai USD6 miliar yang bersumber dari Bank Dunia, ADB, AFD, KfW, JICA, EDCF, AIIB dan lembaga donor lain.
Pembiayaan APBN melalui penerbitan SBN juga akan didukung oleh Bank Indonesia/ BUMN sebagai sumber pembiayaan yang bersifat last resort/ back stop.