Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Sri Mulyani: Banyak Negara Kesulitan Keuangan dan Kemungkinan Bangkrut
25 Agustus 2022 16:43 WIB
·
waktu baca 2 menitADVERTISEMENT
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan keadaan perekonomian global semakin memburuk. Bahkan, kata Sri Mulyani, sejumlah negara di dunia terancam mengalami stagflasi.
ADVERTISEMENT
Sri Mulyani menilai kacaunya situasi global dipengaruhi oleh pandemi COVID-19 yang belum sepenuhnya selesai. Ditambah lagi dengan ketegangan geopolitik Rusia dan Ukraina.
"Inflasi melonjak tinggi. Banyak negara dengan rasio utang di atas 60 persen, bahkan 100 persen dan kondisi keuangan negara sulit dan kemungkinan default," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komite IV DPD RI, Kamis (25/8).
Sri Mulyani mengungkapkan sejumlah negara maju, termasuk Amerika Serikat (AS) mengambil respons pengetatan moneter melalui kenaikan suku bunga acuan. Hal tersebut tentu membuat pasar keuangan global mengalami guncangan yang begitu besar.
"Dunia dihadapkan stagflasi dan dengan pengetatan menyebabkan terjadinya resesi. Kombinasi resesi dan inflasi sangat berbahaya dan rumit bagi pengambil keputusan di bidang ekonomi," pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Gubernur BI Sebut Risiko Stagflasi Global Meningkat, Dampak ke Indonesia Apa?
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, kelesuan ekonomi global juga tercermin dari pertumbuhan ekonomi negara besar seperti Amerika Serikat dan Tiongkok yang berisiko lebih rendah.
"Meningkatnya risiko stagflasi di berbagai negara dan resesi di sejumlah negara maju, sebagai dampak pengetatan kebijakan moneter yang agresif," kata Perry dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (23/8).
Perry melanjutkan, berbagai indikator dini pada Juli 2022 mengindikasikan berlangsungnya perlambatan konsumsi dan kinerja manufaktur di AS, Eropa, dan Tiongkok.
Sementara itu, tekanan inflasi global masih tinggi seiring ketegangan geopolitik dan kebijakan proteksionisme yang masih berlangsung, serta perbaikan gangguan rantai pasokan yang masih terbatas.
Volume perdagangan dunia juga diproyeksi akan lebih rendah dari prakiraan sebelumnya, seiring dengan kondisi perlambatan ekonomi global.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ketidakpastian pasar keuangan global juga meningkat di tengah masih berlanjutnya pengetatan kebijakan moneter di berbagai negara termasuk AS, meskipun tidak seagresif dari prakiraan awal.
"Hal ini mengakibatkan masih terbatasnya aliran modal asing dan menekan nilai tukar di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia," ujar Perry.