Sri Mulyani: COVID-19 Masih Jadi Tantangan Ekonomi hingga 2022

4 Mei 2021 14:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Keuangan RI Sri Mulyani. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Keuangan RI Sri Mulyani. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut perkembangan COVID-19 masih akan menjadi tantangan bagi pemulihan ekonomi. Bukan hanya tahun ini saja, tantangan akibat dari pandemi ini diprediksi masih berlanjut hingga tahun depan.
ADVERTISEMENT
Sri Mulyani mengatakan, saat ini kasus harian COVID-19 di seluruh dunia terus meningkat dengan mencapai lebih dari 800 ribu kasus per hari. Selain itu, muncul berbagai varian baru COVID-19, serta adanya gelombang baru pandemi yang terjadi di berbagai negara besar.
"Varian baru mungkin akan menimbulkan komplikasi dalam penanganan COVID-19. Pada saat yang sama kita melihat meskipun program vaksinasi dimulai di seluruh dunia, namun aksesnya tidak merata," ujar Sri Mulyani dalam Musrembangnas 2021, Selasa (4/5).
Tak hanya itu, beberapa faktor eksternal dan internal juga masih akan mempengaruhi kondisi ekonomi Indonesia tahun ini dan tahun depan. Perkembangan ini tentunya akan mempengaruhi kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBN) hingga 2022 mendatang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mendampingi Presiden Jokowi menyaksikan vaksinasi karyawan industri keuangan di BEI. Foto: Instagram/@smindrawati
"Perubahan kebijakan fiskal moneter di negara maju yang pasti menimbulkan spillover. Apakah itu dalam bentuk inflasi, suku bunga global, dan kemudian berujung kepada volatilitas nilai tukar dan capital flow yang mengalami volatilitas juga," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Ia menambahkan, disparitas pemulihan ekonomi dunia juga akan menyebabkan perubahan atau dinamika antarnegara termasuk dari sisi stimulus maupun kemampuan untuk memperoleh vaksin. Namun begitu, sejumlah negara besar mulai mengalami perbaikan perekonomian.
"Pemulihan dari beberapa negara besar dalam perekonomian seperti Tiongkok, Amerika Serikat dan sekarang mulai dengan Eropa akan membuat harga komoditas akan mengalami peningkatan yang sangat kuat. Ini seperti yang terjadi 2009, di mana akan memunculkan boom komoditas yang mungkin harus diantisipasi positif maupun negatifnya," pungkasnya.