Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
15 Ramadhan 1446 HSabtu, 15 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45

ADVERTISEMENT
Menteri Keuangan Sri Mulyani bicara mengenai kebijakan tarif impor Presiden AS Donald Trump. Tarif tersebut memicu perang dagang kembali terjadi.
ADVERTISEMENT
Ketegangan ini bermula ketika Trump pada 1 Februari 2025 mengumumkan pengenaan tarif tambahan sebesar 10 persen terhadap barang impor dari Tiongkok, diikuti dengan tarif 25 persen untuk Meksiko dan Kanada. Kebijakan ini memicu respons keras dari negara-negara yang terkena dampak.
Tiongkok membalas dengan menaikkan tarif 15 persen pada impor batu bara dan LNG dari Amerika Serikat, serta 10 persen pada produk minyak mentah, mesin pertanian, dan kendaraan. Kanada dan Meksiko pun tidak tinggal diam dengan menerapkan tarif balasan terhadap berbagai produk Amerika.
“Kalau biasanya kita dengar soal perang militer, ini adalah perang dagang yang sedang terjadi. Ketika satu negara secara unilateral mengenakan tarif lebih tinggi, negara lain pun akan melakukan retaliasi,” kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KiTa, Kamis (13/3).
ADVERTISEMENT
Sri Mulyani menyebut kebijakan Trump itu lalu direspons juga oleh Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau yang juga mengenakan tarif sebesar 25 persen untuk berbagai produk impor dari AS. Ia menilai saling balas tersebut bisa saja terus terjadi.
“(Presiden Trump) akan membalas lagi. Jadi ini adalah sebuah bahasa yang menunjukkan bahwa ia tidak main-main,” ujar Sri Mulyani.
Sri Mulyani mengungkapkan pada 10 Februari 2025, Trump juga menaikkan tarif baja dan aluminium menjadi 25 persen. “Hal ini tentu menimbulkan reaksi negatif,” ujar Sri Mulyani.
Sri Mulyani menyoroti dampak dari kebijakan ini terhadap tatanan ekonomi global yang sebelumnya berbasis aturan bersama (rule-based multilateralism). Menurutnya, tren ini berisiko mengubah pola perdagangan internasional dan menciptakan ketidakpastian bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Unilateralism atau aksi dari satu negara yang kebetulan merupakan negara terbesar dan terkuat di dunia dan menjadi dominan, ini menjadi the rule of the game. Jadi yang tadinya rule base multilateral sekarang adalah tergantung dari unilateral dari negara," terang Sri Mulyani.
"Dan kalau negara ini karena kuat dan dominan, dia bisa mengatur aturan sesuai dengan gerakan dan kepentingan dari negara tersebut," tambahnya.
Sri Mulyani menuturkan salah satu dampak utama yang dikhawatirkan adalah terganggunya ekspor Indonesia, terutama ke negara-negara yang terlibat langsung dalam perang dagang. Tiongkok, sebagai mitra dagang utama Indonesia, kini harus menghadapi kenaikan tarif dari Amerika, yang berpotensi melemahkan daya saing produk-produknya di pasar global.