Sri Mulyani Ungkap Negara Banyak Kehilangan Aset: dari Zaman Presiden Soeharto

28 Oktober 2020 16:00 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan paparan saat konferensi pers terkait dampak virus corona di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (13/3). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan paparan saat konferensi pers terkait dampak virus corona di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (13/3). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Menteri Keuangan Sri Mulyani bercerita bahwa Indonesia banyak kehilangan aset milik negara. Pengakuan itu disampaikan Sri Mulyani sewaktu mengisi Kuliah Umum di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada.
ADVERTISEMENT
Sri Mulyani mengungkapkan, hilangnya aset negara paling banyak terjadi di era pemerintahan Presiden Soeharto. Selama 32 tahun Presiden ke-2 Indonesia itu menjabat, tak sedikit aset negara yang jatuh ke tangan pihak swasta.
Hal itu terjadi karena buruknya pembukuan negara di Orde Baru. Pembangunan yang masif tak diikuti oleh neraca yang baik, sehingga berujung pada hilangnya aset.
"Tadinya Republik Indonesia tidak punya neraca, jadi barang milik negara pun tidak diadministrasikan, tidak di-record," ujar Sri Mulyani dikutip dari video yang diunggah laman Facebook Kantor Juru Bicara Presiden RI, Rabu (28/10).
"Kita asal bangun, waktu Pak Harto bangun banyak sekali enggak ada pembukuannya. Jadi waktu kemudian terjadi krisis kemudian kita punya UU Keuangan Negara dan Perbendaharaan Negara, kita baru mulai membangun neraca keuangan," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Sri Mulyani kemudian mencontohkan aset negara apa saja yang hilang atau jatuh ke pihak swasta. Salah satunya yakni Kompleks Gelora Bung Karno.
Menurut Sri Mulyani, dulunya Hotel Hilton atau Hotel Sultan di kompleks tersebut masuk dalam deretan aset negara. Selain itu, ada pusat perbelanjaan Plaza Senayan hingga kawasan Kemayoran.
Aset tersebut beberapa kemudian lepas saat adanya skema kerja sama dengan swasta. Ketiadaan pembukuan membuat aset beralih tangan.
"Kompleks Senayan Gelora Bung Karno, dulu Presiden Sukarno itu membangun seluruh komplek itu sampai dengan Manggala Wanabakti, TVRI sampai pada Hotel Hilton. Semuanya itu termasuk Hotel Mulia, itu semuanya sampai Plaza Senayan, itu semuanya adalah semua kompleks milik negara, Kemayoran," ujar mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia.
Hotel Mulia, Jakarta Foto: Shutter stock
"Karena tidak pernah dibukukan, suatu saat terjadi kerja sama, tiba-tiba swasta sudah punya title. Sehingga waktu kami mulai membuat pembukuan, Hotel Hilton itu sudah tidak ada dalam title-nya kita, hilang dan sekarang jadi Hotel Sultan. Hotel Mulia itu kita harus fight banyak sekali untuk bisa title-nya tetap punya pemerintah," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Tak adanya pencatatan aset kala itu, juga membuat para menteri leluasa menjual tanah tanpa ketahuan. Perbuatan tersebut bisa lolos dari jerat hukum lantaran tak adanya administrasi yang baik.
"Banyak sekali barang milik negara, belum lagi kalau dulu tanah tanah, kalau menterinya lagi senang saya ingin jual tanah, saya jual tanah saja. Karena dulu enggak pernah ada pengadministrasian, sehingga banyak sekali republik itu kehilangan banyak aset," kata Sri Mulyani.
***
Saksikan video menarik di bawah ini.