Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Sri Mulyani Ungkap Perang Dagang Trump 2.0 Bisa Guncang Ekonomi RI
13 Maret 2025 11:38 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Dunia tengah menghadapi babak baru dalam perang dagang global. Kebijakan tarif tinggi yang kembali diberlakukan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump berpotensi mengguncang perekonomian dunia. Indonesia, sebagai negara dengan keterbukaan ekonomi yang cukup tinggi, tidak bisa lepas dari dampaknya.
ADVERTISEMENT
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, ketegangan ini bermula ketika Presiden Trump pada 1 Februari 2025 mengumumkan pengenaan tarif tambahan sebesar 10 persen terhadap barang impor dari Tiongkok, diikuti dengan tarif 25 persen untuk Meksiko dan Kanada. Kebijakan ini memicu respons keras dari negara-negara yang terkena dampak.
Tiongkok membalas dengan menaikkan tarif 15 persen pada impor batu bara dan LNG dari Amerika Serikat, serta 10 persen pada produk minyak mentah, mesin pertanian, dan kendaraan. Kanada dan Meksiko pun tidak tinggal diam dengan menerapkan tarif balasan terhadap berbagai produk Amerika.
Sri Mulyani menyoroti dampak dari kebijakan ini terhadap tatanan ekonomi global yang sebelumnya berbasis aturan bersama (rule-based multilateralism). Menurutnya, tren ini berisiko mengubah pola perdagangan internasional dan menciptakan ketidakpastian bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Unilateralism atau aksi dari satu negara yang kebetulan merupakan negara terbesar dan terkuat di dunia dan menjadi dominan, ini menjadi the rule of the game. Jadi yang tadinya rule base multilateral sekarang adalah tergantung dari unilateral dari negara. Dan kalau negara ini karena kuat dan dominan, dia bisa mengatur aturan sesuai dengan gerakan dan kepentingan dari negara tersebut," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa, Kamis (13/3).
Bendahara negara itu mengatakan, salah satu dampak utama yang dikhawatirkan adalah terganggunya ekspor Indonesia, terutama ke negara-negara yang terlibat langsung dalam perang dagang. Tiongkok, sebagai mitra dagang utama Indonesia, kini harus menghadapi kenaikan tarif dari Amerika, yang berpotensi melemahkan daya saing produk-produknya di pasar global.
ADVERTISEMENT
Jika ekspor China melambat akibat tarif tambahan, permintaan terhadap bahan baku dari Indonesia seperti batu bara dan nikel bisa ikut menurun. Ini berpotensi menekan neraca perdagangan Indonesia dan mempengaruhi sektor industri yang bergantung pada ekspor.
Selain itu, rantai pasok global juga berisiko mengalami gangguan. Kebijakan proteksionisme yang semakin agresif dapat membuat biaya logistik dan produksi meningkat.
Sri Mulyani menekankan dinamika ini sangat berbeda dibandingkan beberapa dekade sebelumnya, di mana globalisasi memungkinkan arus perdagangan dan investasi berjalan lebih lancar.
"Jadi mulai United Nations, kemudian mengucurkan WTO, IMF, World Bank, dan kemudian berbagai kesepakatan antar negara dari sisi perdagangan investasi yang semuanya tujuannya adalah agar hubungan antar negara berdasarkan suatu aturan dan kepastian, tidak didasarkan pada aksi," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Efek lain yang perlu diwaspadai adalah inflasi global. Kenaikan tarif impor dapat menyebabkan harga barang naik, yang pada akhirnya bisa berdampak pada daya beli masyarakat. Jika perang dagang semakin memanas, bukan tidak mungkin dunia akan menghadapi periode stagflasi, pertumbuhan ekonomi melambat, tetapi inflasi tetap tinggi.
Di tengah perubahan ini, peran forum ekonomi seperti G20 semakin dipertanyakan. Sri Mulyani mengungkapkan pada pertemuan terakhir G20 di Afrika Selatan, banyak negara yang bahkan tidak hadir, menunjukkan bahwa relevansi kerja sama multilateral semakin berkurang.
"Berbagai negara banyak yang bahkan tidak menghadiri G20, bandingkan dengan suasana waktu kita menjadi presidensi G20. Kita tetap mampu menghadirkan seluruh anggota G20 bahkan pada label head of state," katanya.
ADVERTISEMENT