Sri Mulyani Ungkap Utang RI Hampir Rp 7.500 T: Masih Aman

1 Desember 2022 21:05 WIB
·
waktu baca 2 menit
Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Keuangan Sri Mulyani menyerahkan DIPA dan Buku Daftar Alokasi Transfer ke Daerah Tahun Anggaran 2023 kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta, Kamis (1/12/2022). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Keuangan Sri Mulyani menyerahkan DIPA dan Buku Daftar Alokasi Transfer ke Daerah Tahun Anggaran 2023 kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta, Kamis (1/12/2022). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan utang Indonesia hampir mencapai Rp 7.500 triliun per 31 Oktober 2022. Angka ini mengalami kenaikan Rp 76,23 triliun dari posisi sebelumnya yaitu Rp 7.420,47.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, dia menyebut posisi utang Indonesia masih tergolong aman. “Utang Indonesia masih aman dan tetap harus dikelola secara prudent, teliti, dan kompeten,” kata Sri Mulyani pada Penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran di Istana Negara, Kamis (1/12).
Posisi utang tersebut mengambil porsi 38,36 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, atau lebih rendah ketimbang periode serupa tahun lalu yang sebesar 39,69 persen.
Sri Mulyani mengatakan diperlukan kewaspadaan mengingat kondisi ekonomi global sedang penuh ketidakpastian. Oleh karena itu, kehati-hatian pengelolaan utang negara diperlukan karena adanya ancaman inflasi.
“Penerapan Zero-COVID Policy di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang telah menyebabkan perlambatan ekonominya maupun dampak penetapan kebijakan moneter di negara-negara maju di dalam rangka mengendalikan inflasi yang akan berakibat pada pelemahan ekonomi global,” tutur Sri Mulyani.
ADVERTISEMENT
Kenaikan suku bunga global juga akan meningkatkan cost of fund, dan ini memicu aliran modal keluar dari negara-negara berkembang dan emerging market. Situasi ini juga berpotensi menimbulkan tekanan terhadap nilai tukar dari negara-negara berkembang.
Menurutnya, inflasi global begitu tinggi dalam 40 terakhir, sehingga gejolak kenaikan suku bunga dan nilai tukar menjadi sebuah keniscayaan.