Sri Mulyani: Utang Jadi Instrumen untuk Selamatkan Negara dan Perekonomian RI

24 Juli 2021 16:54 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Keuangan Sri Mulyani bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/3/2021). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Keuangan Sri Mulyani bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/3/2021). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Utang pemerintah terus bertambah di masa pandemi COVID-19. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan penambahan utang dilakukan pemerintah bertujuan untuk menyelamatkan perekonomian negara. Sebab penanganan pandemi COVID-19 membutuhkan dana yang besar.
ADVERTISEMENT
“Kenapa kita harus menambah utang? Seolah-olah menambah utang menjadi tujuan. Padahal dia adalah merupakan instrumen, whatever it takes untuk menyelamatkan negara dan perekonomian kita,” ujar Sri Mulyani dalam Peluncuran dan Bedah Buku Mengarungi Badai Pandemi, Sabtu (24/7).
Menurut Sri Mulyani, selama pandemi kebutuhan anggaran melonjak sangat tinggi. Adapun anggaran tersebut dialokasikan di antaranya untuk bidang kesehatan, bantuan sosial untuk masyarakat, bantuan untuk daerah dan masih banyak lagi.
Kenaikan kebutuhan anggaran inilah yang membuat kinerja APBN menjadi lebih berat. “Hal ini terjemahannya adalah suatu beban APBN yang luar biasa,” ujarnya. Akibatnya selama pandemi, defisit APBN pun kian melebar. Meski demikian Sri Mulyani menegaskan bahwa penambahan utang tersebut rela dilakukan demi menyelamatkan warga dan perekonomian negara.
ADVERTISEMENT
“Kami di Kementerian Keuangan merespons dengan whatever it takes. Apa pun kita lakukan untuk menyelematkan warga negara dan perekonomian Indonesia,” ujarnya.
Sebelumnya, Moody's Investor Service memprediksi utang pemerintah akan terus meningkat di tengah pandemi COVID-19 ini. Rasio utang bahkan diramal melebihi 45 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di tahun 2023.
Padahal pada 2019 rasio utang tercatat sekitar 31 persen. Kemudian pada 2020 rasio utang yang meningkat tajam menjadi 39,8 persen dari PDB
VP Senior Analyst Moody's, Anushka Shah, menjelaskan kenaikan utang pemerintah itu sejalan dengan melebarnya defisit fiskal. Adapun pada tahun lalu, defisit fiskal mencapai 6,1 persen PDB dan ditargetkan secara bertahap turun menjadi 5,9 persen di tahun ini.
ADVERTISEMENT
Rasio utang pemerintah yang melebihi 45 persen PDB di 2023 itu juga lebih tinggi dari proyeksi pemerintah. Dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF), pemerintah memperkirakan rasio utang pemerintah sebesar 43,21-43,99 persen dari PDB di 2023.
Tak hanya itu, berkurangnya penerimaan negara di tengah pandemi ini membuat pembayaran bunga utang meningkat menjadi 20,6 persen dari pendapatan, dari sebelumnya di 2019 sebesar 14,1 persen dari pendapatan negara.
Meski demikian, Moody's mengatakan bahwa proyeksi rasio utang pemerintah yang melebih 45 persen dari PDB itu masih di bawah rata-rata proyeksi negara berperingkat Baa lainnya, yakni 62 persen dari PDB.
Adapun hingga semester I 2021, pemerintah telah menarik utang baru atau pembiayaan utang sebesar Rp 443 triliun. Realisasi pembiayaan utang sudah 37,6 persen dari target Rp 1.177,4 triliun atau tumbuh 5,1 persen dibandingkan periode sama tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Secara rinci, pembiayaan utang dari SBN adalah 38,4 persen dari target Rp 1.207,3 triliun atau tumbuh 7,8 persen dari semester I 2020. Sementara pinjaman sudah 70 persen dari target yaitu Rp 29,9 triliun atau tumbuh 133 persen dari periode yang sama tahun lalu.
Sementara untuk total utang pemerintah, berdasarkan data terbaru per Mei 2021, mencapai Rp 6.418,15 triliun. Total utang pemerintah ini setara dengan 40,49 persen PDB.