Subsidi BBM dan Listrik Bengkak, Tekanan Keuangan Makin Berat

3 Januari 2019 11:49 WIB
clock
Diperbarui 15 Maret 2019 3:50 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas menuang BBM di tangki penyimpang. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Petugas menuang BBM di tangki penyimpang. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Belanja pemerintah untuk subsidi energi berupa BBM dan LPG serta listrik mengalami pembengkakan di APBN 2018. Total subsidi energi pemerintah tercatat mencapai Rp 153,5 triliun, atau 162,4 persen lebih besar dari anggaran yang dialokasikan sebesar Rp 94,5 triliun.
ADVERTISEMENT
Jika dirinci, subsidi BBM dan LPG sebesar Rp 97 triliun dari alokasi Rp 46,9 triliun atau membengkak 207 persen. Selain itu, ada pula subsidi listrik yang membengkak 118,6 persen menjadi Rp 56,5 triliun dari alokasi Rp 46,7 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pembengkakan yang terjadi itu tak lepas kaitannya karena adanya perubahan kebijakan subsidi energi.
"Belanja subsidi pemerintah lebih tinggi dari yang dianggarkan karena ada perubahan kebijakan subsidi energi terutama BBM," ujarnya dalam konfrensi pers realisasi APBN 2018 di Gedung Dhanapala Kemenkeu, Jakarta, Rabu (3/1).
Pekerja memasang jaringan kabel ke tower milik PT PLN Persero yang akan dialiri listrik dari PLTU IPP 3 Kendari. (Foto: ANTARA FOTO/Jojon)
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja memasang jaringan kabel ke tower milik PT PLN Persero yang akan dialiri listrik dari PLTU IPP 3 Kendari. (Foto: ANTARA FOTO/Jojon)
Ekonom di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menambahkan, melonjaknya pengeluaran untuk biaya energi sepanjang 2018 juga turut dikerek oleh kenaikan harga minyak mentah.
ADVERTISEMENT
Sepanjang tahun 2018, harga minyak jenis brent rata-rata harganya USD 71,67 per barel, naik dari rata-rata tahun 2017 sebesar USD 54,75 per barel.
Di sisi lain, Bhima menyebutkan, fluktuasi nilai tukar rupiah juga ikut berperan. "Memang ada fluktuasi nilai tukar rupiah. Rupiahnya melemah, otomatis biaya untuk impor minyak itu akan lebih mahal, karena minyak acuannya menggunakan USD," tambahnya.
Tak hanya itu, kata dia, subsidi minyak yang membengkak juga imbas dari tahun politik yang lazimnya menghindari isu kenaikan harga atau inflasi.
"Inflasi ini lah yang ingin dihindari agar elektabilitasnya enggak jongkok, elektabilitasnya terjaga, gimana caranya? Mau enggak mau memang subsidi energinya ditambah cukup signifikan jadi sudah meleset dari asumsi makro harga minyak dan kurs rupiah," terangnya.
ADVERTISEMENT
Di kondisi ini, Bhima menyebut tak dipungkiri juga lifting minyak di Indonesia terus mengalami penurunan. Maka, imbasnya impor minyak meningkat untuk memenuhi kebutuhan subsidi itu.
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira. (Foto: Jafrianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira. (Foto: Jafrianto/kumparan)
Tekanan Makin Berat di 2019
Bhima mewanti-wanti persoalan membengkaknya subsisi energi masih berlanjut bisa meningkatkan tekanan lebih berat di 2019. Pasalnya, subsidi energi yang dilakukan pemerintah melibatkan lembaga BUMN seperti PLN dan Pertamina yang mesti merogoh kocek lebih dalam untuk bisa menjalankan program.
Salah satu contohnya, BBM Satu Harga sebagai program pemerintah yang mesti dibebankan oleh keuangan Pertamina.
"Jadi kalau apa yang ditanggung Pertamina, apa yang ditanggung PLN dikembalikan lagi ke APBN tentu realisasinya akan lebih besar daripada realisasi yang ada dilaporan APBN final. Nah ini kan cara-cara ini kan membahayakan keuangan BUMN dalam jangka panjang, nah itu yang enggak sehat," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Ke depan, kata Bhima, menjadi tantangan bagi pemerintah untuk bijak mengambil sikap. Apalagi dengan tekanan lebih berat di puncak tahun politik karena mesti dihadapkan dengan pilihan kebijakan populis untuk mendulang suara.
"Itu konsekuensi-konsekuensi yang kita lihat di 2019, di mana apa mau mempertahankan PLN dan Pertamina keuangannya semakin berdarah atau dikembalikan dengan cara naikkan harga BBM dan tarif listrik. Kebijakannya enggak populis tapi mau gimana, itu keputusan yang sangat berat di 2019," pungkas dia.