Suharso Tanggapi Morgan Stanley yang Turunkan Rekomendasi Saham RI

13 Juni 2024 13:36 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa menghadiri Musrenbangnas 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Senin (6/5/2024). Foto: Bappenas
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa menghadiri Musrenbangnas 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Senin (6/5/2024). Foto: Bappenas
ADVERTISEMENT
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Suharso Monoarfa, merespons lembaga keuangan Amerika Serikat (AS), Morgan Stanley, yang menurunkan rekomendasinya untuk saham-saham di Indonesia menjadi underweight.
ADVERTISEMENT
Salah satu alasan Morgan Stanley menurunkan rekomendasi itu karena menganggap program makan bergizi gratis Prabowo-Gibran bakal menjadi beban fiskal yang besar.
Suharso mengatakan pemerintah ke depan akan lebih banyak melakukan belanja modal yang sifatnya investasi yang berbasis revenue based.
"Jadi bukan belanja modal yang menimbulkan belanja barang, bukan belanja modal yang memberikan beban utang kepada pemerintah yang pada otoritas fiskal yang enggak ada sumbernya," kata Suharso saat ditemui di kompleks DPR RI, Kamis (13/6).
"Tapi ini belanja modal yang dia punya self financing sendiri untuk mengatasi capital expanditur-nya. Itu sangat dimungkinkan karena di Undang-Undang Perbendaharaan Negara itu pemerintah boleh melakukan investasi termasuk beli saham, menerbitkan SUN, dan melakukan investasi langsung," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Suharso menjelaskan saat ini belanja modal dibebankan semua utang-utangnya ke otoritas fiskal. "Tapi sekarang masing-masing KL mereka punya peluang untuk revenue based, silakan," ujar Suharso.
Selain itu, Suharso juga melihat banyak negara yang terbukti sukses menerapkan program makan bergizi gratis. Namun, dia tak merinci negara mana saja yang dimaksud.
Adapun Center of Reform on Economics (CORE) merangkum konsep-konsep pembiayaan program makan bergizi gratis di beberapa negara. Misalnya di China, dari tahun 2011-2021 pemerintah China telah menghabiskan 147,2 miliar Yuan atau setara Rp 329,7 triliun. Sekitar 90 persen dibiayai oleh pemerintah pusat, sisanya dari pihak swasta. Imbasnya dalam 10 tahun terakhir subsidi pemerintah pusat meningkat dari 3 Yuan ke 4 Yuan per anak setiap makan.
ADVERTISEMENT
Sementara di India, anggaran yang disediakan tahun 2023-2024 untuk makan bergizi gratis di India sebesar Rp 21,45 triliun, dengan biaya rata-rata 1.121 Rupee (Rp 217.553) per anak per SD per tahun. Sementara untuk siswa SMP sebesar rata-rata 1.596 Rupee (Rp 309.797). Skema pembiayaannya didanai dari presentase belanja pemerintah pusat dan pemerintah bagian sebesar 60 banding 40. Di sana pemerintah bermitra dengan organisasi nirlaba.
Morgan Stanley sebelumnya menurunkan rekomendasinya untuk saham-saham di Indonesia menjadi underweight. Rekomendasi tersebut berlaku dalam portofolio investasi Morgan Stanley untuk pasar Asia dan pasar negara berkembang.
Mengutip Bloomberg, Rabu (12/6), melaporkan, penurunan rekomendasi itu dipengaruhi oleh kebijakan fiskal Indonesia dan penguatan dolar AS yang menimbulkan risiko investasi saham di Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Kami melihat ketidakpastian jangka pendek mengenai arah kebijakan fiskal di masa depan serta beberapa kelemahan di pasar Valas di tengah masih tingginya suku bunga AS dan prospek dolar AS yang kuat,” tulis ahli strategi termasuk Daniel Blake dalam catatan tanggal 10 Juni.
Begitu juga dengan janji kampanye, presiden terpilih Indonesia Prabowo Subianto dinilai Morgan Stanley menimbulkan beban fiskal yang besar. Dengan demikian, prospek pendapatan Indonesia juga memburuk.
“Janji kampanye Presiden terpilih Indonesia Prabowo Subianto – seperti usulan pemerintah menyediakan makan siang dan susu gratis untuk pelajar, dapat menimbulkan 'beban fiskal yang besar'," tulis Morgan Stanley.