Sulit Akses Bansos saat Pandemi, Belasan Waria Meninggal karena Masalah Gizi

29 Juli 2021 16:06 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Solidaritas Waria di Tengah Wabah  Foto: Tim QLC dan Sanggar Seroja
zoom-in-whitePerbesar
Solidaritas Waria di Tengah Wabah Foto: Tim QLC dan Sanggar Seroja
ADVERTISEMENT
Sederet program jaring pengaman sosial seperti bansos digelontorkan pemerintah dalam rangka mengantisipasi dampak ekonomi kebijakan penanganan pandemi COVID-19. Terutama dampak bagi masyarakat yang kehilangan penghasilan selama pembatasan diberlakukan.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, hampir semua program tersebut memiliki berbagai persyaratan administrasi yang justru menjadi kesulitan lain bagi masyarakat buat mengakses bantuan.
Kendala ini juga turut dirasakan kelompok transpuan atau waria yang sebagian besar kehilangan pekerjaan sejak pandemi COVID-19 merebak. Ini diamini oleh Manajer Program Yayasan Kebaya Ruly Mallay. Kebaya ini merupakan yayasan yang menjadi rumah singgah kelompok transpuan di Yogyakarta.
Menurut Rully, KTP menjadi salah satu kendala sebagian besar transpuan kesulitan mendapatkan akses layanan publik, layanan kesehatan, hingga bantuan sosial. Selain karena sebagian besar misalnya memiliki KTP yang tak sesuai dengan domisili karena notabene perantau, sebagian juga karena memang belum mendapatkan kartu identitas elektronik itu sampai sekarang.
"Teman-teman yang benar-benar berdomisili kadang-kadang dilewatkan pendataannya, karena dianggap komunitasnya mungkin secara tidak sengaja atau mungkin sengaja mereka terlewatkan dari pencatatan. Bahwa mereka sangat layak mendapatkan akses bantuan langsung tunai, pendidikan rata-rata kurang, skil juga kurang, penghasilan jelas kurang sekali," cerita Rully kepada kumparan, Kamis (29/7).
Pendampingan kaum waria oleh Perludem. Foto: Dok. Perludem
Alhasil, susahnya mengakses bantuan di tengah kehilangan penghasilan membuat sebagian besar bertahan sendirian di kosan atau kontrakan. Situasi tersebut, membuat setidaknya belasan transpuan meninggal di tengah pandemi justru karena persoalan lain seperti kekurangan asupan gizi.
ADVERTISEMENT
"Itu terjadi dari awal pandemi ini, 11 kawan-kawan yang meninggal lebih banyak karena infeksi, terus kekurangan asupan nutrisi, vitamin, pengobatan yang tidak komprehensif. Itu beberapa faktor penyebabnya bukan justru karena COVID-19," sambungnya.
Sejumlah organisasi di Jakarta yang dimotori LSM suara sebelumnya memang telah menginisiasi pertemuan dengan pemerintah, khususnya Dirjen Dukcapil supaya akses pembuatan KTP ini dipermudah. Hasilnya, pada 2 Juni dari sebanyak 297 transpuan yang terdata di seluruh Indonesia, sebanyak 54 orang di antaranya telah diberikan fasilitas untuk mendapatkan KTP.
Sembari berharap rekan-rekannya bisa memiliki KTP, Ruly bersama yayasannya menginisiasi berbagai program penggalangan donasi. Dari sinilah, ketidakhadiran bansos pemerintah bisa ditutupi.
Bahkan, dana yang terkumpul itu digunakan juga buat jaring pengaman buat lansia, pemulung, hingga gelandangan di sekitar Parangkusumo Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
"Saya inisiasi 3 hari setelah PPKM Darurat, pengumpulan donasi dalam waktu 7 hari terkumpul Rp 146 juta. Itu cukup bisa mengatasi situasi darurat. 2 Kali kami berputar memberikan paling enggak sembako, masker, vitamin, nutrisi dan obat-obatan kepada seluruh transpuan," tuturnya.
"Tiap bulan kita sudah memberikan sembako kepada mereka, mendirikan dapur umum. Kita peruntukan makanan yang kita buat di dapur umum itu untuk lansia, orang tidak mampu, pemulung, gelandangan pengemis, juga edukasi protokol COVID-19 di komunitas," sambung Ruly Mallay.