Survei: 15 Persen Masyarakat Baru Gunakan Pembayaran Digital karena Pandemi

14 Oktober 2021 18:46 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustasi hacker. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustasi hacker. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Perusahaan cybersecurity, Kaspersky, menemukan bahwa 2 dari 10 orang baru menggunakan pembayaran digital atau digital payment setelah adanya pandemi COVID-19. Managing Director for the Asia Pacific (APAC) Region Kaspersky Chris Connell mengatakan pihaknya melakukan survei pada 1.618 responden pada Juli 2021 lalu. Hasilnya 90 persen menyatakan pernah menggunakan digital payment setidaknya satu kali. Namun 15 persen di antaranya mengaku baru menggunakannya saat pandemi.
ADVERTISEMENT
“Sekitar 15 persen atau 2 dari 10 responden mengaku baru menggunakan digital payment setelah pandemi,” ujar Chris dalam Cybersecurity Weekend, Kamis (14/10).
Menurut Chris ada dua alasan yang membuat 15 persen responden ini akhirnya memutuskan untuk menjajal pembayaran digital. Pertama, mendukung aturan pembatasan sosial atau social distancing.
Seperti diketahui, semenjak adanya pandemi semua transaksi dilakukan secara online demi membatasi mobilitas fisik. Hal ini membuat sebagian orang mau tak mau akhirnya ikut menjajal transaksi online misalnya belanja dari rumah. Dengan transaksi online tersebut alhasil pembayaran pun dilakukan secara digital.
Pembeli membayar dengan metode scan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) di warung KE Angkringan, Ampera, Jakarta, Jumat (30/7/2021). Foto: Akbar Nugroho Gumay/ANTARA FOTO
Alasan kedua adalah mereka tidak memiliki pilihan lain. Selama pandemi beberapa tenant bahkan tidak menerima pembayaran menggunakan uang tunai. Pilihan yang tersedia hanyalah melalui aplikasi dompet digital. Sehingga hal ini juga memaksa sebagian orang untuk mulai menggunakan pembayaran digital.
ADVERTISEMENT
Namun di sisi lain, para responden ini juga menyatakan bahwa mereka masih tidak sepenuhnya percaya dengan keamanan aplikasi pembayaran digital. Mereka takut bahwa saldonya bisa tiba-tiba lenyap atau bisa juga data pribadi mereka dicuri.
Sementara itu sekitar 4 dari 10 responden juga mengungkapkan bahwa mereka tidak mempercayai keamanan platform pembayaran digital. Lebih dari seperempat juga menganggap teknologi ini terlalu merepotkan karena membutuhkan banyak kata sandi atau pertanyaan. Sedangkan 25 persen lainnya curiga perangkat pribadi mereka tidak cukup aman.
“Para ahli bilang gunakan password yang berbeda untuk setiap platform yang berbeda. Gunakan password yang lebih kuat. Ini menjadi tantangan,” ujarnya.
Menurut Chris ini merupakan survei yang menarik sebab di sisi lain, publik sadar akan risiko yang menyertai dalam transaksi online. Oleh karena itu, pihaknya mengimbau agar pengembang dan penyedia aplikasi pembayaran digital harus cermat dalam melihat celah keamanan siber di setiap tahap proses pembayaran.
ADVERTISEMENT
“Mereka juga harus menerapkan fitur keamanan, atau bahkan pendekatan desain yang aman untuk mendapatkan kepercayaan penuh dari para pengguna pembayaran digital,” ujarnya.