Survei FEB UB: 95 Persen Responden Akan Tetap Merokok Meski Cukai Rokok Naik

2 September 2022 13:13 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Rokok. Foto: Antara/Yusran Uccang
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Rokok. Foto: Antara/Yusran Uccang
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Survei Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) menyebut bahwa kenaikan tarif cukai hasil tembakau atau cukai rokok tak efektif menurunkan jumlah perokok di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Survei dilakukan di empat provinsi dengan melibatkan 1.600 responden. Hasilnya, 95 persen atau 1.520 responden akan tetap merokok, meskipun harga rokok naik.
“Hasil survei tersebut semakin memperkuat argumen bahwa kenaikan harga rokok tidak efektif menurunkan angka prevalensi merokok usia 15 tahun ke atas, karena variabel harga rokok bukanlah faktor utama yang menyebabkan seseorang memutuskan berhenti merokok,” ujar Direktur PPKE FEB UB Candra Fajri Ananda dalam keterangannya, Jumat (2/9).
Dia melanjutkan, dalam hal pengendalian konsumsi dan optimalisasi penerimaan negara, pemerintah dinilai masih bertumpu pada mekanisme harga, sehingga kenaikan tarif cukai dilakukan setiap tahun. Menurutnya, kebijakan cukai rokok berdampak pada penurunan prevalensi perokok usia dini sampai 3,81 persen di tahun 2021. Capaian ini pun sesuai target RPJMN 2019-2024.
ADVERTISEMENT
“Namun, indikator prevalensi perokok usia lebih dari 15 tahun tidak mengalami perubahan yang signifikan selama hampir 15 tahun sejak 2007, hal ini menjadi indikasi bahwa kebijakan kenaikan cukai untuk menekan prevalensi merokok kurang efektif,” jelasnya.
Guru Besar FEB UB tersebut mengatakan, selama sepuluh tahun terakhir ini terjadi kenaikan tarif cukai dan harga rokok secara signifikan hampir di semua golongan. Sebagai contoh, kenaikan harga rokok jenis Sigaret Mesin (SKM & SPM) Golongan 1 mengalami perubahan harga hingga 168 persen, Sigaret Mesin (SKM & SPM) Golongan 2 mengalami perubahan harga hingga 247 persen.
“Apabila dilihat berdasarkan golongan, kenaikan tarif cukai tertinggi selama hampir seuluh tahun terakhir terjadi di rokok jenis Sigaret Mesin (SKM & SPM),” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Hasil kajian PPKE FEB UB juga menyatakan kenaikan tarif cukai dan harga rokok dalam beberapa tahun terakhir menyebabkan penurunan yang signifikan pada jumlah pabrikan rokok. Menurut Candra, kenaikan harga rokok akan menurunkan volume produksi pabrikan rokok, mulai pabrikan Golongan 1 sampai Golongan 3, yang berpotensi menurunkan penerimaan negara dan meningkatkan peredaran rokok ilegal.
“Kenaikan harga rokok dan tarif cukai juga menurunkan volume produksi rokok legal dan meningkatkan peredaran rokok ilegal secara signifikan. Kenaikan tarif cukai sebesar 23 persen dan HJE (harga jual eceran) meningkat 35 persen di tahun 2020 (PMK 152/2019) berdampak pada penurunan volume produksi rokok hingga minus 9,7 persen dan memicu peningkatan peredaran rokok ilegal menjadi 4,8 persen," terang dia.
Konferensi pers hasil survei dampak kenaikan tarif cukai rokok bagi konsumen dan industri. Foto: PPKE FEB UB
Selain itu, jumlah pabrik rokok yang mencapai 4.793 di 2007 kini tersisa 1.003 pabrik di 2021. Volume produksi industri hasil tembakau (IHT) juga menunjukkan trend penurunan. Data Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) menunjukkan, volume produksi turun sekitar 30 miliar batang dari tahun 2019.
ADVERTISEMENT
Pertumbuhan volume produksi IHT dipengaruhi oleh permintaan terhadap produk tersebut. Berdasarkan hasil fitting test terhadap data, nilai koefisien harga rokok Golongan 1 terhadap konsumsi rokok memiliki hubungan negatif yang paling tinggi di antara golongan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan harga rokok dapat memberikan dampak penurunan terbesar pada Golongan 1.
Hal itu, kata dia, selaras dengan data DJBC 2021 yang menunjukkan bahwa penurunan produksi terbesar terjadi di Golongan 1, ketika terjadi kenaikan harga rokok di tahun 2020. Di sisi lain, elastisitas harga rokok pada Golongan 3 menunjukkan hubungan positif, sehingga kenaikan harga rokok mendorong kenaikan volume produksi rokok paling besar di Golongan 3.
“Fenomena tersebut juga menunjukkan bahwa kenaikan harga rokok tidak akan serta merta menurunkan konsumsi rokok, karena konsumen akan beralih pada jenis rokok yang lebih murah,” terangnya.
ADVERTISEMENT
Hasil kajian juga menyatakan kenaikan harga rokok dan tarif cukai yang eksesif berdampak pada penurunan pertumbuhan penerimaan cukai rokok, karena terjadi penurunan volume produksi akibat penurunan permintaan. “Oleh sebab itu, kenaikan tarif cukai sebesar 23 persen dan kenaikan HJE sebesar 35 persen di tahun 2020 menyebabkan penurunan pertumbuhan penerimaan CHT di tahun 2020. Penurunan penerimaan CHT terbesar terjadi pada rokok Golongan 1,” jelas Candra.
Dia juga memastikan, kenaikan tarif cukai dan harga rokok hanya berdampak pada penurunan volume produksi rokok legal, namun bukan konsumsi secara agregat, karena masih ada rokok illegal.
Hasil simulasi menunjukkan, jika pemerintah terus menaikkan tarif cukai dan harga rokok secara eksesif dan melebihi batas maksimum untuk mendorong penerimaan cukai dan penurunan konsumsi rokok, hal ini justru berdampak pada penurunan jumlah pabrik rokok dan kenaikan peredaran rokok illegal.
ADVERTISEMENT
“Pada simulasi tersebut jumlah pabrik rokok turun hingga tersisa 831 pabrik, karena adanya penurunan volume produksi akibat adanya penurunan permintaan terhadap rokok legal,” tulisnya.
Dari sisi regulasi, pelonggaran kebijakan cukai efektif menurunkan angka peredaran rokok ilegal, menjaga keberlangsungan IHT, dan meningkatkan pertumbuhan penerimaan cukai hasil tembakau. Dalam hal ini, pemerintah dapat mempertahankan PMK 156/2018 dan regulasi lainnya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012.
PPKE FEB UB menyatakan bahwa dalam upaya optimalisasi penerimaan negara dari cukai hasil tembakau, maka pemerintah harus meningkatkan pencegahan, pengawasan, dan penindakan untuk memerangi peredaran rokok ilegal secara masif. Untuk meningkatkan penerimaan negara, pemerintah perlu segera menambah alternatif barang kena cukai, lantara kenaikan tarif cukai rokok telah mencapai titik optimal dalam mendorong penerimaan.
ADVERTISEMENT
“Dalam upaya pengendalian konsumsi, kenaikan harga rokok bukan langkah efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok dan meng-address penurunan angka prevalensi merokok, perlu instrumen lain di luar kepentingan fiskal dan kesehatan,” tambahnya.