Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Tak Hanya Prabowo, S&P Juga Pernah Kritik soal Utang BUMN Konstruksi
26 Juni 2018 12:17 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
ADVERTISEMENT
Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto terus menyoroti masalah utang Indonesia yang meningkat selama pemerintahan Presiden Jokowi.
ADVERTISEMENT
Ia menyebut jumlah utang Indonesia sebesar Rp 9.000 triliun berdasarkan 'Statistik Uang Sektor Publik, Kementerian Keuangan, 2018, Asumsi Kurs Rp 14.000 per USD; Per Tutup Tahun 2017'.
Dari jumlah utang tersebut, Prabowo menyoroti kenaikan utang milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Menurut dia, utang dari BUMN infrastruktur seperti Waskita Karya, Wijaya Karya, Pembangunan Perumahan, dan Adhi Karya terus bertambah.
Untuk PT Waskita Karya Tbk (WSKT), Prabowo menyebut kenaikan utang mencapai sebesar 669%. Sedangkan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) mengalami kenaikan 181%. Dua BUMN lainnya yang mengalami kenaikan utang, lanjut Prabowo, adalah PT Adhi Karya Tbk (ADHI) sebesar 155% dan PT Pembagunan Perumahan Tbk (PTPP) 125%.
Pada Maret lalu, serupa dengan Prabowo, Lembaga pemeringkat Standard & Poor's (S&P ) menyoroti soal memburuknya neraca keuangan BUMN-BUMN terkait infrastruktur.
ADVERTISEMENT
Analis S&P Xavier Jean mengatakan, perusahaan-perusahaan pelat merah di bidang konstruksi tersebut telah melakukan pinjaman dengan jumlah yang cukup banyak demi pembangunan infrastruktur. Hal ini menyebabkan neraca keuangan mereka menjadi sangat lemah.
Rasio utang pada pada 20 BUMN karya telah meningkat 5 kali terhadap pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA). Angka ini melonjak dibandingkan pada tahun 2011 yang hanya 1 kali terhadap EBITDA.
"Ini adalah tren yang kami jaga ketat, karena kami pikir itu akan bertahan, dan akan difokuskan pada 2018 dan menjelang pemilihan 2019," kata Jean seperti dilansir Reuters pada 22 Maret 2018.
Pemerintah memperkirakan total investasi infrastruktur yang dibutuhkan sejak tahun 2014 hingga 2019 sebesar USD 450 miliar atau setara dengan Rp 6.075 triliun (kurs Rp 13.500).
Jean menjelaskan, untuk mengambil sebagian besar proyek tersebut, BUMN harus meminjam untuk memenuhi kebutuhan modal kerja, seperti gaji. Sementara proyek tersebut sering tertunda atau membutuhkan waktu untuk menghasilkan pendapatan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, upaya pemerintah untuk mengembangkan infrastruktur di daerah-daerah berpenduduk rendah juga menimbulkan kekhawatiran terkait pendapatan di kemudian hari.
"Tidak terlalu jelas bagi kami hari ini jika banyak investasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan ini di luar Jawa, di luar pusat yang padat penduduk, akan menjadi proyek yang menguntungkan atau tidak," kata Jean.
Jean menambahkan, jika perusahaan-perusahaan pelat merah tersebut terus meningkatkan investasi dengan kecepatan seperti saat ini, mereka dapat dipaksa untuk menghentikan semua investasinya dalam lima tahun untuk mengendalikan keuangan mereka. Caranya yakni menegosiasikan ulang utang mereka atau meminta rekapitalisasi oleh pemerintah.