Tak Heran Diteror Debt Collector, Warga RI Jika Berutang hingga ke 20 Fintech

22 April 2021 4:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ragam aplikasi pinjaman online. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ragam aplikasi pinjaman online. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
ADVERTISEMENT
Masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan berbelanja online yang membuat banyak perusahaan pinjaman online kini tumbuh subur. Namun, yang menjadi sorotan yaitu ada sebagian konsumen yang meminjam hingga ke puluhan pinjol atau fintech.
ADVERTISEMENT
Kepala Departemen Perlindungan Konsumen OJK, Agus Fajri Zam, mengungkapkan hal itu sebagai salah satu tantangan edukasi dan upaya perlindungan konsumen jasa keuangan di era digital. Digitalisasi yang membuat berbagai proses jadi serba praktis dan serba cepat, menimbulkan ekses.
Agus pun juga menyoroti masalah perilaku konsumen yang meminjam melampaui kemampuan membayarnya (over-indebtedness) alias utang berlebihan.
"Fintech misalnya, fintech itu sangat memudahkan orang dalam melakukan peminjaman. Tapi biasanya karena mudah, tidak seperti di bank, orang kadang salah langkah sehingga pinjamannya over-indebtedness. Pinjamnya enggak kira-kira dari 12 sampai 20 fintech sekaligus, lah bayarnya bagaimana?" kata Agus dalam seminar yang berlangsung online, Selasa (20/4).
Selain dari sisi warganya sebagai konsumen, dia juga menyoroti sisi pelaku industri keuangan. Menurutnya, terdapat praktik pemasaran yang buruk oleh pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) di mana ada penyampaian informasi yang tidak jelas. Ujung-ujungnya hal ini menyulitkan konsumen membayar pinjaman.
ADVERTISEMENT
"Kemudian juga selain perilaku yang kurang pas dari konsumen, ada juga misleading information juga yang dilakukan oleh pelaku jasa keuangan karena seakan-akan sangat mudah namun akhirnya justru menyulitkan konsumen melunasi utang-nya," ujarnya.
Ilustrasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Dia pun mengakui, terkait perlindungan konsumen di era digital, banyak hal yang perlu dibenahi. Pembenahan itu sebagai konsekuensi dari perubahan teknologi, perubahan mekanisme, yang menyebabkan terjadinya perubahan perilaku.
Pada sisi lain, lanjutnya, ada pihak-pihak yang memanfaatkan perubahan yang cepat dalam perkembangan fintech itu sebagai kelemahan dan ketidaktahuan. Lalu digunakan mengeruk keuntungan pribadi.
Hal ini juga berkaitan dengan rendahnya literasi keuangan atau pengetahuan dan keterampilan menggunakan produk dan layanan jasa keuangan. Survei Nasional Literasi Keuangan (SNLIK) yang dilakukan OJK pada 2019, indeks inklusi keuangan sudah mencapai 76,19 persen, namun indeks literasi keuangan baru mencapai 38,03 persen.
ADVERTISEMENT
Dari sini terlihat ada kesenjangan 38 persen, antara jasa layanan keuangan yang diadopsi masyarakat, dengan pengetahuan masyarakat terhadap layanan tersebut. Belum lagi ada persoalan makin marak produk ilegal dan penipuan terkait jasa keuangan.