Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Pemerintah maupun Bank Indonesia (BI) seirama memandang soal risiko penurunan ekonomi domestik di tahun ini.
ADVERTISEMENT
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melihat tanda-tanda penurunan ekonomi dari seretnya pendapatan negara per April 2019, salah satunya dari perpajakan yang melambat. Namun, Sri Mulyani belum merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi di tahun ini yang diperkirakan tumbuh 5,3 persen.
Sementara Gubernur BI Perry Warjiyo mengoreksi target pertumbuhan ekonomi menjadi di bawah titik tengah 5-5,4 persen. Padahal sebelumnya, bank sentral menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun ini berada di titik tengah 5-5,4 persen.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah mengatakan, penurunan ekonomi pasti akan berdampak ke masyarakat. Misalnya pengangguran dan kemiskinan yang kemungkinan akan kembali meningkat jika pemerintah dan BI tak segera mengambil tindakan.
"Kalau pemerintah dan BI tidak melakukan apa-apa, yang terjadi adalah perekonomian kita benar-benar akan melambat. Dampaknya pasti ke kesejahteraan masyarakat, pengangguran dan kemiskinan bisa kembali meningkat," ujar Piter kepada kumparan, Jumat (17/5).
Menurutnya, pemerintah dan BI harus mengambil tindakan cepat untuk menghindari perlambatan ekonomi. Saat ini, kata Piter, yang dibutuhkan adalah strategi dan program yang realistis untuk mendorong perekonomian.
ADVERTISEMENT
"Kita sesungguhnya punya alternatif pilihan kebijakan untuk menghindari perlambatan ekonomi. Kita punya potensi yang berlimpah. Yang dibutuhkan adalah strategi dan program yang jelas, bagaimana memanfaatkan potensi sumber daya tersebut," katanya.
Salah satu caranya adalah pemerintah dapat menerapkan ekspansi fiskal, seperti meningkatkan belanja pemerintah, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, seperti percepatan bansos, menambah Penerima Bantuan Iuran (PBI), dan mempercepat penyaluran dana desa. Adapun ekspansi fiskal tersebut pernah dilakukan pemerintah pada 2016.
Selama semester I 2016, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,18 persen dari periode yang sama tahun lalu, yakni 4,66 persen. Hal ini karena adanya lonjakan ekspansi belanja pemerintah yang naik dari 2,61 persen pada kuartal I 2016 menjadi 6,28 persen pada kuartal berikutnya. Belanja pemerintah tumbuh dari Rp 384,74 triliun menjadi Rp 474,28 triliun.
ADVERTISEMENT
"Pemerintah bisa melakukan ekspansi fiskal secara signifikan yang diimbangi pelonggaran likuiditas oleh BI. Strategi ini bersifat counter cyclical," jelasnya.
Sebelumnya, Sri Mulyani telah melihat pertanda penurunan ekonomi dari pertumbuhan pajak yang melambat.
"Jadi kami sudah melihat tanda-tanda perekonomian mengalami penurunan dengan penerimaan pajak yang mengalami pelemahan dari sisi pertumbuhannya," kata Sri Mulyani dalam konpers APBN.
Berdasarkan data APBN KiTa, Jumat (17/5), pendapatan negara per April ini hanya Rp 530,7 triliun, tumbuh hanya 0,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 528,1 triliun.
Jika dilihat lebih jauh, pertumbuhan pendapatan negara pada April 2018 tumbuh hingga 13,3 persen. Bahkan di April 2017, pendapatan negara mampu tumbuh hingga 20,5 persen.
ADVERTISEMENT
Seretnya pendapatan negara tersebut lantaran pertumbuhan penerimaan perpajakan (pajak dan bea cukai) juga anjlok. Hingga akhir April 2019, perpajakan hanya mencapai Rp 530,4 triliun, tumbuh 0,6 persen dari periode yang sama tahun lalu.
Padahal di tahun lalu, dengan penerimaan yang hanya Rp 527,1 triliun, perpajakan mampu tumbuh hingga 13,2 persen. Bahkan di April 2017, perpajakan mencapai Rp 465,8 triliun atau tumbuh 20,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Sri Mulyani mengungkapkan, situasi global yang masih tak menentu juga mengakibatkan penerimaan pajak melambat. Apalagi ekspor dan impor sama-sama mengalami tekanan.
Hal tersebut juga dapat terlihat dari komponen kepabeanan dan cukai yang menggambarkan laju ekspor dan impor di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Total Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) hanya sebesar Rp 76,38 triliun, atau tumbuh 1,24 persen dari periode yang sama tahun lalu. Sementara di April 2018, total PDRI mampu tumbuh hingga 25,08 persen.
Untuk bea keluar yang mengalami penurunan, Sri Mulyani menyebutkan, hal tersebut karena kegiatan Freeport Indonesia yang beralih melakukan kegiatan produksi di tambang bawah.
"Jadi ini kita harus mulai meningkatkan kewaspadaan, karena situasi ini mirip dengan 2014-2015, di mana ekspor maupun impor menurun," katanya.