Tarif KRL Berbasis NIK Dinilai Tepat, Apa Alasannya?

15 September 2024 15:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah penumpang antre untuk masuk ke kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek tujuan Stasiun Jakarta Kota di Stasiun Manggarai, Jakarta, Selasa (30/7/2024). Foto: Darryl Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah penumpang antre untuk masuk ke kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek tujuan Stasiun Jakarta Kota di Stasiun Manggarai, Jakarta, Selasa (30/7/2024). Foto: Darryl Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Wacana pemerintah untuk menerapkan skema subsidi KRL Jabodetabek yang bakal diubah berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) dipandang sudah tepat.
ADVERTISEMENT
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno melihat skema ini dinilai membuat tarif KRL Jabodetabek menjadi lebih adil.
Skema NIK akan memungkinkan terjadinya perbedaan tarif tiket KRL Jabodetabek. Misalnya, lansia, pengguna KRL disabilitas, dan pelajar akan dikenakan tarif berbeda dengan masyarakat umum berpenghasilan tinggi.
Sementara saat ini pemerintah menyamaratakan tarif tiket KRL Jabodetabek untuk semua kalangan.
“Orang yang lebih mampu bisa jadi bayarnya lebih tinggi. (Ini) lebih adil, lihat parkir mobil di Stasiun Bogor, mobilnya bagus-bagus masa bayarnya sama sama yang buruh gaji UMR,” kata Djoko kepada kumparan, Minggu (15/9).
Dia mencontohkan, penerapan tarif berdasarkan golongan ini telah diterapkan oleh angkutan umum di Jawa Tengah.
“Misal di Jateng, Trans Jateng itu bayar Rp 4.000 (untuk satu orang per satu kali perjalanan) tapi untuk pelajar, mahasiswa, lansia Rp 2.000 (untuk satu orang per satu kali perjalanan), nggak ada yang protes,” terangnya.
ADVERTISEMENT
Sehingga menurut dia, penerapan tarif KRL berbasis NIK ini akan membuat subsidi yang dikeluarkan pemerintah lebih tepat sasaran. Hanya saja sebelum menerapkan wacana ini, pemerintah perlu melakukan sosialisasi terlebih dahulu, supaya tidak menuai pro dan kontra di masyarakat.
Pengamat Transportasi Universitas Soegijapranata Semarang Djoko Setijowarno. Foto: Facebook/Djoko Setijowarno
“Iya (bagus) cuman kan Kementerian Perhubungan nggak ada yang jelasin (skemanya),” imbuh Djoko.
Terlebih menurut Djoko, pemerintah telah menggelontorkan dana yang cukup besar untuk KRL Jabodetabek ini, melalui Public Service Obligation (PSO) yang sebesar Rp 1,6 triliun per tahunnya. Selain itu menurut dia, subsidi tepat sasaran untuk KRL Jabodetabek memang tengah dikaji dan kemungkinan penerapannya akan dilakukan secara bertahap.
Di sisi lain, Djoko yang juga merupakan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat menuturkan, MTI memiliki kajian yang bisa dilakukan pemerintah untuk menghemat PSO hingga 30 persen.
ADVERTISEMENT
Dalam kajian tersebut, pemerintah dapat mengurangi subsidi pada akhir pekan atau libur nasional. Sebab pada akhir pekan pengguna KRL hanya berkisar antara 2 hingga 5 persen dari total pengguna pada hari biasa.
“PSO diberikan bagi warga yang bekerja sebagai komuter atau penglaju. Pengguna KRL di hari Sabtu hanya 5 persen dan hari Minggu 2 persen, lainnya kegiatan sosial, wisata, dan lain-lain, juga di hari libur,” jelas Djoko.
Menurut dia, PSO sebanyak 30 persen hasil pangkas pada akhir pekan dan libur nasional tersebut dapat dialihkan untuk sarana transportasi umum yang lain. “Jika akhir pekan dan hari libur dikurangi subsidi PSO bisa hemat 30 persen dan dapat dialihkan untuk subsidi angkutan hunian dan bus perintis di luar Jawa,” terangnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, menurut dia, hal ini juga tetap dapat diberlakukan beriringan dengan penerapan tiket KRL Jabodetabek berbasis NIK. Meskipun Djoko belum menghitung berapa besaran penghematan PSO, jika kedua skema ini diterapkan. “Kalau bisa diterapkan dua duanya lebih bagus,” tutup Djoko.
Sebelumnya, tarif KRL berbasis NIK ini tertuang dalam Buku Nota Keuangan 2025. Kemudian Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan membenarkan bahwa pemerintah sedang membahas terkait kebijakan tersebut.
Nantinya, sistem subsidi tarif KRL akan sama seperti penyaluran BBM bersubsidi yang membedakan masyarakat yang berhak dan tidak berhak.
"Ya sekarang lagi difinalkan, kita lihat nanti, sama itu juga dengan tadi bensin. Jadi kembali orang yang berhak itu yang dapat," ungkap Luhut usai acara Indonesia International Sustainability Forum 2024, Jumat (6/9).
ADVERTISEMENT
Hal ini kemudian menuai pro dan kontra, sebanyak 85,42 persen atau 1.269 pembaca kumparan tidak setuju jika pemerintah menerapkan tarif KRL berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) di 2025. Sedangkan, 14,58 persen lainnya setuju.
Angka ini merupakan hasil polling kumparan yang dilakukan pada 2-9 September 2024 dengan melibatkan sebanyak 1.475 responden yang menjawab polling ini.