Teknologi Ketinggalan Zaman, 60 Persen Bahan Baku Industri Makanan Masih Impor

19 November 2020 12:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi makanan kalengan Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi makanan kalengan Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Industri pengolahan makanan dan minuman (mamin) menjadi salah satu penggerak perekonomian nasional. Selain pasar di domestik yang besar, sumbangan untuk ekspornya juga tinggi.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor industri makanan Januari-September 2020 mencapai USD 21,31 miliar atau naik 10,5 persen dibanding periode yang sama pada 2019.
Sayangnya, kata Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rohim, lebih dari 60 persen bahan baku industri makanan dan minuman masih impor. Penyebabnya, pasokan dari dalam negeri tidak stabil, banyak yang diproduksi tidak menggunakan teknologi modern.
"Hari ini masih terjadi mismatch antara petani, penyedia bahan baku, dan industri hilir mamin. Bahan baku dari petani dan peternak dalam negeri belum dikelola dengan teknologi modern sehingga tidak ada kepastian pasokan," kata dia dalam acara daring 'Jakarta Food Security Summit' yang diadakan Katadata, Kamis (19/11).
Untuk bisa menekan impor bahan baku bagi industri manufaktur di dalam negeri, Kemenperin bekerja sama dengan berbagai kementerian dan lembaga yang terkait pengadaan bahan baku di dalam negeri. Tujuannya, agar bisa mencari alternatif bahan baku yang selama ini diimpor.
makanan beku Foto: Shutterstock
Abdul Rohim menuturkan, kementerian sudah menargetkan peningkatan substitusi impor sebesar 15 persen tahun depan. Lalu pada 2022 diharapkan bisa meningkat lagi menjadi 35 persen.
ADVERTISEMENT
Agar substitusi impor bisa dinaikkan, kata dia, perlu ada peningkatan utilisasi produksi. Saat ini, utilisasi produksi baru 60 persen. Tahun depan akan ditingkatkan menjadi 75 persen dan naik lagi menjadi 85 persen pada 2022.
"Ini bukan berarti kita anti impor. Kalau memang bahan bakunya benar-benar tidak ada di dalam negeri, maka impor masih diperbolehkan," ujarnya.
Instrumen yang akan digunakan adalah larangan terbatas pada bahan baku untuk industri pengolahan susu, industri pengolahan buah, industri gula berbasis telur, dan industri pemurnian jagung.
Menurut dia, jika substitusi impor bisa dinaikkan hingga 35 persen pada 2022, negara bisa hemat Rp 3,6 triliun dan penambahan produksi Rp 11,26 triliun.
"Untuk capai sasaran itu, Kemenperin akan percepat sistem inovasi dengan didukung berbagai insentif di bidang teknologi. Peningkatan industri mamin bisa mendorong pemulihan ekonomi nasional dan ujungnya menyejahterakan masyarakat petani, peternak, dan nelayan," ujarnya.
ADVERTISEMENT