Transformasi, Kunci Perusahaan Migas Tetap Eksis di Tengah Krisis

6 Oktober 2020 20:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pengeboran minyak dan gas Foto: Wikimedia Commons
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pengeboran minyak dan gas Foto: Wikimedia Commons
ADVERTISEMENT
Pandemi COVID-19 memukul perekonomian global. Harga minyak ikut ambruk akibat menurunnya permintaan. Pada 21 April 2020, harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) bahkan sempat negatif menjadi USD -14,08 per barel.
ADVERTISEMENT
Produksi minyak saat itu jauh melampaui permintaan. Dalam kondisi normal, permintaan minyak mencapai 97 juta barel per hari. Lockdown dan berbagai macam pembatasan sosial membuat permintaan minyak tinggal 70 juta barel per hari pada pertengahan April lalu.
Harga jadi minus karena ada produsen-produsen yang terpaksa harus membayar pembeli agar kegiatan lapangan minyaknya tidak terganggu. Jatuhnya harga minyak hingga minus itu adalah yang pertama kalinya dalam sejarah.
Harga minyak memang perlahan membaik seiring dengan pembukaan kembali aktivitas di berbagai negara yang sempat lockdown. Kini minyak berada di kisaran USD 40 per barel. Tapi ketidakpastian masih membayangi. Sebab, tak diketahui kapan pandemi akan berakhir.

Tren Kebangkrutan Perusahaan Migas

Dunia sudah berkali-kali dihantam krisis ekonomi. Harga minyak yang memang fluktiatif pun pernah berada di level yang rendah selama bertahun-tahun, bukan kali ini saja. Misalnya pada 2002-2003, harga minyak berada di bawah USD 30 per barel. Tahun 2009, harga minyak ambruk setelah sempat mencapai titik tertingginya di kisaran USD 140 per barel pada 2008. Lalu pada 2014-2015, harga minyak juga jatuh hingga di bawah USD 30 per barel meski tak ada krisis.
Ilustrasi kilang minyak Foto: Reuters/Todd Korol
Pasca 2015, harga tak pernah kembali menyentuh USD 100 per barel. Setelah krisis akibat pandemi kali ini, harga minyak diperkirakan akan tetap rendah dalam jangka panjang. British Petroleum (BP) dalam laporan terbarunya yang terbit pada 14 September 2020 memproyeksikan, puncak konsumsi minyak dunia sudah lewat dan terjadi pada tahun lalu. Ke depan, pasar minyak global diprediksi tak akan pernah pulih dari pandemi virus corona.
ADVERTISEMENT
Perusahaan migas pun berguguran, seperti yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Di negeri Paman Sam itu, biaya produksi minyak mencapai sekitar USD 30 per barel karena membutuhkan teknologi perekahan (fracturing) untuk minyak serpih (shale oil).
Mengutip data Haynes And Boone, sebuah firma hukum yang memonitor kebangkrutan perusahaan migas di Amerika Utara, ada tren peningkatan perusahaan migas yang mengajukan kebangkrutan. Sejak awal tahun sampai 31 Juli 2020 sudah ada sebanyak 32 perusahaan minyak yang mengajukan kebangkrutan (bankruptcy filing) dengan total utang sekitar USD 49 miliar.
Dalam situasi ini setiap perusahaan dituntut untuk mengatur kembali strateginya, mendorong efisiensi dan mengoptimalkan potensi pasar yang ada.

Siasat Perusahaan Migas Hadapi Perubahan

ExxonMobil, raksasa migas AS, dikeluarkan dari indeks Dow Jones Industrial Average pada 24 Agustus 2020. Sebelumnya Exxon terdaftar di Dow Jones sejak 1928. Dikeluarkannya Exxon adalah tanda zaman telah berubah. Kinerja Exxon dan sektor energi secara keseluruhan memang telah menunjukkan tanda-tanda melemah. Di indeks S&P 500, sektor energi hanya berkontribusi 2,5 persen saat ini, dibandingkan dengan 6,84 persen lima tahun lalu dan 10 persen lebih pada 10 tahun lalu.
Perusahaan Minyak Exxon Foto: REUTERS/Rick Wilking
Pemangkasan pekerja tak dapat dihindari para raksasa migas. Royal Dutch Shell, yang memiliki 83 ribu karyawan, baru-baru ini mengumumkan rencana untuk memangkas hingga 9.000 karyawan atau lebih dari 10 persen pekerjanya. BP melakukan hal yang sama, perusahaan tersebut memangkas 10.000 karyawan atau sekitar 15 persen dari seluruh pegawainya.
ADVERTISEMENT
Tapi pemangkasan karyawan yang dilakukan BP dan Shell bukan semata-mata efisiensi, melainkan bagian dari transformasi bisnis. Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas), Moshe Rizal Husin, mengungkapkan bahwa perusahaan-perusahaan migas sudah mempersiapkan scenario planning untuk jangka pendek dan panjang.
"Banyak perusahaan migas multinasional bertransisi ke energi lain. Shell mengkombinasikan teknologi floating mereka dengan windfarm (kebun angin). BP bekerja sama dengan perusahaan bioenergi di Brasil. BP termasuk yang terdepan, mereka menjadi integrated energy company," ujar Moshe dalam video pelatihan JSK Petroleum Academy yang dikutip kumparan, Selasa (6/10).
Shell telah memasang target untuk mencapai 0 persen emisi pada 2050. Kapasitas produksi hidrogen hijau di kilang Cologne Rheinland, Jerman, bakal naik 10 kali lipat pada 2030. Perusahaan patungan Inggris-Belanda ini juga menyiapkan kebun angin lepas pantai (offshore) yang sebagian listriknya untuk menghasilkan hidrogen hijau. Shell juga mempersiapkan stasiun pengisian bahan bakarnya di Jerman agar dapat dipakai kendaraan listrik.
ADVERTISEMENT
Perusahaan pembuat baterai surya milik Shell, Sonnen, meningkatkan kapasitas produksinya karena permintaan untuk penyimpanan energi di rumah diperkirakan akan tumbuh pesat.
Shell Foto: Reuters/Arnd Wiegmann
Sedangkan BP mulai masuk ke pasar bioenergi dengan menggandeng Bunge, perusahaan asal Brasil. Perusahaan patungan BP dan Bunge memproduksi etanol dari tebu untuk bahan bakar kendaraan. Selain itu, biomassa dari tebu dikembangkan untuk menghasilkan listrik.
Bukan hanya perusahaan migas dari AS dan Eropa saja, China juga mulai beralih ke energi hijau. Sinopec berencana membangun stasiun pengisian bahan bakar hidrogen di China. Kemudian CNOOC bakal memulai proyek tenaga angin lepas pantai pada akhir tahun ini.
Menurut Moshe, perusahaan-perusahaan migas sekarang memang harus fleksibel dan cepat melihat kesempatan dalam portofolio mereka. Digitalisasi juga harus dilakukan untuk mendorong efisiensi. Dari sisi organisasi, peran milenial diperbesar agar ada ide-ide yang lebih segar dan inovatif.
ADVERTISEMENT
"Dan juga redefinisi core business. Misalnya BP yang jadi perusahaan energi terintegrasi," tegasnya.

Peran Perusahaan Migas Nasional Perlu Diperbesar

Meski transisi dari energi fosil ke energi terbarukan sedang berjalan cepat, kebutuhan minyak diperkirakan tetap tinggi hingga 2050. Di Indonesia, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), bauran energi untuk minyak bumi masih sebesar 25 persen pada 2025 dan 20 persen di 2050.
Sementara perusahaan-perusahaan migas multinasional sedang mengurangi investasinya di Indonesia. Hal ini terlihat dari langkah Shell yang melepas hak partisipasinya di Lapangan Abadi, Blok Masela. Begitu juga dengan ExxonMobil yang melepas aset-asetnya di Asia Pasifik. Mereka ingin fokus ke portofolio dengan margin lebih besar.
ADVERTISEMENT
Maka untuk menjaga ketahanan energi, peran perusahaan-perusahaan migas nasional harus diperbesar. Cadangan minyak Indonesia yang terbukti tinggal 3,77 miliar barel, hanya cukup untuk 9 tahun lagi jika tak ada penemuan cadangan baru yang signifikan.
Potensi migas Indonesia sebenarnya masih cukup besar. Dari 60 basin di seluruh Nusantara, baru 22 basin yang sudah dieksplorasi. Masih ada potensi cadangan sebesar 4,55 miliar barel. Tapi potensi-potensi cadangan itu berada di laut dalam dan lokasinya terpencil di Indonesia Timur. Butuh biaya investasi besar dan teknologi tinggi, risikonya juga tinggi. Karena itu butuh dukungan dari pemerintah.
Ilustrasi Migas, Pertamina Hulu Energi. Foto: Dok. Pertamina Hulu Energi
Menurut Moshe Rizal, pemerintah harus meningkatkan kepastian untuk mengurangi risiko yang ditanggung kontraktor. Misalnya dalam hal data cadangan migas.
ADVERTISEMENT
"Pertama adalah data. Eksplorasi membutuhkan data. Eksplorasi adalah cara untuk mendapat lebih banyak lagi data. Makin banyak data, makin menarik, makin menawarkan kepastian bagi investor mengambil Wilayah Kerja (dalam lelang blok migas). Pemerintah harus secara aktif berkorban uang untuk menambah data-data yang ditawarkan ke calon investor," ujarnya.
Selain itu, kepastian dalam skema kontrak kerja sama juga harus ditingkatkan. Dalam kontrak bagi produksi (Production Sharing Contract/PSC) skema Gross Split misalnya, kontraktor perlu kepastian soal bagi hasil sejak awal eksplorasi. Kemudian dalam PSC skema Cost Recovery, pajak dan retribusi daerah perlu diatur agar tak membebani kontraktor di kemudian hari.
"Skema kontrak yang lebih menjanjikan kepastian. Yang jelek bukan Gross Split, tapi ada term yang meningkatkan ketidakpastian. Kalau diubah pasti banyak yang mau," ucapnya.
ADVERTISEMENT
"Potensi migas Indonesia masih sangat tinggi, harus dikembangkan terus. Stimulus spesial dari pemerintah diperlukan," tegas Moshe.