Trump Balik ke Gedung Putih Dinilai Ancaman Baru Bagi Ekonomi China

15 Desember 2024 11:55 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Calon presiden dari Partai Republik Donald Trump menyampaikan pidato kemenangan Pemilu AS 2024 di Palm Beach County Convention Center, West Palm Beach, Florida, AS, Rabu (6/11/2024). Foto: Brian Snyder/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Calon presiden dari Partai Republik Donald Trump menyampaikan pidato kemenangan Pemilu AS 2024 di Palm Beach County Convention Center, West Palm Beach, Florida, AS, Rabu (6/11/2024). Foto: Brian Snyder/REUTERS
ADVERTISEMENT
Di tengah upaya China memerangi deflasi terburuk dalam dua dekade terakhir, ancaman perang dagang kembali membayangi dengan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Trump, yang pernah memulai perang tarif selama masa jabatan pertamanya, kini berjanji mengenakan tarif sebesar 60 persen pada ekspor China. Kebijakan itu berpotensi menghancurkan perdagangan bilateral kedua negara.
Mengutip Bloomberg, tarif baru ini akan menjadi pukulan telak bagi ekonomi terbesar kedua di dunia yang sedang berjuang menghadapi perlambatan. Selama enam kuartal berturut-turut, harga-harga di China terus turun akibat lemahnya daya beli konsumen, kemerosotan sektor properti, dan surplus barang manufaktur.
“Jika tren ini berlanjut, China akan mencatatkan rekor deflasi beruntun terpanjang sejak krisis keuangan Asia pada akhir 1990-an,” tulis laporan Bloomberg.
Menurut para ekonom, perang tarif yang baru akan memperburuk kondisi deflasi karena menekan ekspor, salah satu motor utama perekonomian China.
ADVERTISEMENT
“Jika tarif 60 persen diterapkan, itu akan menjadi pukulan ganda bagi China. Ekspor yang melemah tidak hanya mengurangi pendapatan negara, tetapi juga memperparah ketidakstabilan di sektor manufaktur, yang sudah menghadapi masalah overproduksi,” ujar Wang Jun, seorang ekonom dari China Center for International Economic Exchanges.

Perang Tarif dan Krisis Kepercayaan

Ilustrasi krisis properti di China. Foto: Hector Retamal/AFP
Pada masa lalu, perang dagang memicu ketidakpastian di kalangan pelaku usaha China, menghambat investasi, dan memaksa banyak perusahaan untuk memotong biaya dengan memangkas tenaga kerja. Kali ini, ancaman tarif datang pada saat ekonomi domestik sedang tertekan. Kepercayaan konsumen di China berada pada titik rendah akibat anjloknya pasar properti dan kebijakan ketat terhadap industri-industri besar, seperti teknologi dan keuangan.
Pengamat menilai, ancaman Trump dapat memperburuk sentimen pasar yang saat ini sudah lemah. Investor telah menunjukkan pesimisme terhadap prospek ekonomi, terlihat dari imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun yang jatuh ke rekor terendah.
ADVERTISEMENT
“Jika Trump benar-benar memberlakukan tarif baru, China harus menghadapi tantangan besar untuk menopang ekonominya sambil mengatasi tekanan eksternal ini,” ujar Michael Pettis, profesor keuangan dari Peking University.

Upaya China Menghadapi Krisis

Pemerintah China sebenarnya telah melakukan berbagai upaya untuk menahan laju penurunan harga dan memacu konsumsi domestik. Langkah-langkah seperti subsidi pembelian mobil dan peralatan rumah tangga, pelonggaran pembatasan pasar properti, hingga penurunan suku bunga telah diterapkan. Namun, para ekonom menilai langkah ini belum cukup untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat dan mendongkrak daya beli.
Sementara itu, ancaman tarif baru dari AS mengharuskan Beijing mencari solusi jangka panjang yang lebih solid. “China mungkin perlu mempercepat pergeseran ekonominya ke dalam negeri, tetapi itu membutuhkan waktu dan investasi besar,” ujar Ting Lu, kepala ekonom di Nomura.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, China juga harus memutuskan apakah akan menghadapi perang dagang dengan tindakan balasan atau memilih jalur diplomasi. Sebuah langkah yang salah bisa memperburuk situasi ekonomi dan politik, baik di dalam negeri maupun secara global.

Efek Domino bagi Dunia

Krisis deflasi dan ancaman perang dagang ini tidak hanya berdampak pada China, tetapi juga ekonomi global. Sebagai pusat manufaktur dunia, lemahnya perekonomian China dapat memengaruhi rantai pasok internasional dan menekan harga barang-barang impor. Di saat yang sama, ketegangan perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia dapat memicu ketidakpastian yang meluas, menghambat pertumbuhan global.
Dengan tantangan yang semakin kompleks, kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih dapat menjadi ujian besar bagi China. Apakah Beijing mampu menjaga stabilitas ekonominya, atau justru terjebak dalam lingkaran krisis yang semakin dalam.
ADVERTISEMENT