Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
TV Analog Disuntik Mati, Masih Cuan Bisnis Iklan Televisi?
14 November 2022 9:49 WIB
·
waktu baca 3 menitDiperbarui 8 Desember 2022 18:14 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Pemilik hak siaran TV RCTI, MNCTV, iNews dan GTV itu menilai kebijakan pemerintah tak adil lantaran dilakukan tidak serentak. TV analog masih mengudara di luar Jabodetabek.
"MNC Group menyadari tindakan mematikan siaran dengan sistem analog ini sangat merugikan masyarakat Jabodetabek. 60 persen masyarakat di Jabodetabek tak bisa lagi menikmati tayangan televisi," ujarnya lewat unggahan instagram.
Dengan dalih kebijakan tersebut merugikan, MNC Group memastikan tidak ada dampak dari analog switch off (ASO) kepada perusahaan. "Belum ada informasi penting lainnya yang material dan dapat mempengaruhi kelangsungan hidup perseroan serta mempengaruhi harga saham," penjelasannya kepada Bursa Efek Indonesia (BEI).
Kendati tak mengakui berdampak langsung pada perusahaan selaku salah satu emiten media, matinya TV analog disinyalir berpengaruh pada bisnis iklan TV swasta.
ADVERTISEMENT
Pakar Ilmu Komunikasi dari Universitas Mercu Buana Afgiansyah menilai ada aspek bisnis di balik langkah hukum grup bisnis televisi itu. Ia membaca adanya potensi penurunan kepemirsaan televisi yang ujungnya menggerus iklan.
"Bisa jadi ada kekhawatiran belanja iklan yang semula didominasi perusahaan nasional, semakin tergerus ke kantong perusahaan multinasional," tuturnya kepada kumparan.
Turunnya Pemirsa Imbas TV Analog Disuntik Mati
Dosen Ilmu Komunikasi itu juga menilai akan adanya potensi penurunan pemirsa TV signifikan selama proses transisi televisi. Meski begitu, belum ada data pasti terkait berapa persentase penurunan pemirsa tersebut.
Berdasarkan data Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) pada September 2022, atau sebelum siaran analog dimatikan, masyarakat Indonesia mengkonsumsi iklan paling banyak dari siaran TV hingga 85 persen.
ADVERTISEMENT
Apabila terjadi penurunan kepemirsaan, maka belanja iklan dialihkan ke media-media online khususnya platform OTT atau online video. Masih mengacu pada data Nielsen, televisi meraih kue iklan sekitar Rp 200 triliun.
"Lalu bagaimana setelah analog dimatikan? Ya kita hitung saja, perkiraan kasarnya misal penetrasi 20 persen diikuti penurunan belanja iklan. Maka kerugiannya sekitar Rp 40 triliun," tuturnya.
Sejalan dengan pendapat itu, Analis Mirae Asset Sekuritas Christine Natasya menjelaskan pengiklan biasanya akan menaruh iklan mereka dengan berpatokan pada data audience share Nielsen.
Mereka, lanjutnya, melihat stasiun TV mana yang biasanya audience share-nya paling tinggi. "Mostly untuk sampel audience share Nielsen itu 60 persen dari Jakarta dan sekitarnya. Jadi kalau tiba-tiba ditutup, audience share juga berpengaruh at the end juga mempengaruhi para pengiklan," pungkasnya.
Migrasi Solusi Monopoli
Pakar ilmu komunikasi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Rahayu menyebut migrasi TV ini diperlukan. Sebab, jumlah spektrum frekuensi analog sangat terbatas dan lantas dimonopoli konglomerat media.
ADVERTISEMENT
Dengan migrasi TV ke digital, jumlah spektrum frekuensi akan berlipat sehingga dapat digunakan untuk kebutuhan penyelenggaraan penyiaran.
TV analog membuat penyiaran berbasis komunitas dan publik selama ini terabaikan. "TV-TV yang ada telanjur dikuasai sejumlah konglomerat media tidak bisa diharapkan lagi," katanya.
Soal ini, Afgiansyah juga menuturkan hal senada. Dia menilai analog switch off sebagai suatu keharusan. Hal yang lebih penting daripada bisnis iklan, katanya, adalah memastikan masyarakat Indonesia memperoleh kesetaraan akses informasi.
"Hal yang krusial di sini adalah bagaimana kita bisa mengembalikan kepemirsaan TV secepatnya. Ini penting bukan hanya saja terkait serapan belanja iklan oleh industri TV yang didominasi perusahaan multinasional atau asing," tuturnya.
==
Artikel mengalami perubahan, redaksi memutuskan menghapus data Nielsen yang dikutip narasumber berdasarkan informasi langsung dari Nielsen soal belum adanya informasi atau riset resmi yang dikeluarkan.
ADVERTISEMENT