Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, transisi TV menuju digital akan dilakukan di 292 kota dan kabupaten lain. Langkah ini disebut-sebut menggerus pendapatan iklan di perusahaan TV swasta. Berdasarkan catatan Nielsen hingga semester I 2022 jumlah belanja iklan di TV mencapai Rp 107 triliun.
Tak lama setelah kebijakan itu dijalankan, MNC Group milik Hary Tanoesoedibjo disebut akan membawa ke jalur hukum. Pemilik hak siaran TV RCTI, MNCTV, iNews dan GTV itu menilai kebijakan pemerintah tak adil lantaran dilakukan tidak serentak. TV analog masih mengudara di luar Jabodetabek.
"MNC Group menyadari tindakan mematikan siaran dengan sistem analog ini sangat merugikan masyarakat Jabodetabek. 60 persen masyarakat di Jabodetabek tak bisa lagi menikmati tayangan televisi," ujarnya lewat unggahan instagram.
ADVERTISEMENT
Dengan dalih kebijakan tersebut merugikan, MNC Group memastikan tidak ada dampak dari analog switch off (ASO) kepada perusahaan. "Belum ada informasi penting lainnya yang material dan dapat mempengaruhi kelangsungan hidup perseroan serta mempengaruhi harga saham," penjelasannya kepada Bursa Efek Indonesia (BEI).
Kendati tak mengakui berdampak langsung pada perusahaan selaku salah satu emiten media, matinya TV analog disinyalir berpengaruh pada bisnis iklan TV swasta.
Lalu, bagaimana dengan TV lokal?
Pakar Ilmu Komunikasi dari Universitas Mercu Buana Afgiansyah mengatakan bahwa TV lokal yang sudah menggunakan teknologi siaran analog akan mengalami kerugian. Sebab, mereka akan beralih dengan menyewa jaringan siaran digital yang dikenal dengan istilah mux atau multipleksing.
"Mux ini sudah ditunjuk penyelenggaranya dari pihak swasta untuk masing-masing daerah siaran. Ada juga TVRI ya sebagai pengelola mux terbanyak di berbagai daerah di Indonesia," kata Afgiansyah kepada kumparan, Senin (14/11)
ADVERTISEMENT
Ia membeberkan pada umumnya penyelenggara mux pihak swasta adalah media TV nasional seperti Metro TV, Trans group, MNC group, Viva group yang menaungi ANTV & TV One, serta SCM yang menaungi SCTV dan Indosiar.
Lalu, TV lokal yang semula sudah punya infrastruktur pemancar siaran analog tanpa harus sewa, setelah beralih ke siaran digital mau tidak mau harus sewa ke penyelenggara mux yang sudah ditunjuk oleh pemerintah.
Sementara itu, TV lokal yang baru menyelenggarakan siaran setelah analog switch off tidak akan berinvestasi pada infrastruktur siaran analog. Sehingga, adanya penyelenggara multipleksing dengan sistem sewa buat siaran digital dapat membuat lebih efisien dari sisi bisnis dalam menyelenggarakan siaran TV.
"Ini mungkin akan memicu bertambahnya penyelenggara TV lokal karena untuk melakukan siaran TV dari sisi capital expenditure (Capex) yang semula perlu modal cukup besar untuk sistem pemancar, sekarang bergeser menjadi opex atau operational expenditure yang bisa dibayarkan bulanan," ucap dia.
ADVERTISEMENT
Ia menilai, teknis siaran TV digital secara logika hampir sama seperti melakukan live streaming dalam durasi panjang dan berkesinambungan seperti banyak dilakukan oleh pemilik channel YouTube. Untuk itu, bagi mereka yang sudah biasa live streaming secara reguler di sana bisa meningkatkan statusnya jadi stasiun TV terestrial.
"Dari sisi penyerapan belanja iklan dari para big spender seperti perusahaan FMGC, Telco, banking, online platform seperti marketplace, OTT, dan lain-lain yang mengeluarkan budget besar dalam beriklan di televisi, Saya kira akan sulit bagi TV lokal untuk bersaing dengan TV nasional yang memiliki modal besar," imbuhnya.
Keberadaan TV lokal yang melakukan siaran digital justru akan memunculkan pengiklan dengan skala lebih kecil yang tadinya tidak mampu melakukan promosi di media nasional. Pasalnya, ada kesempatan bagi UMKM dan industri di daerah untuk beriklan di televisi lokal.
ADVERTISEMENT
Hal ini juga berlaku bagi lembaga negara di tingkat daerah yang memiliki anggaran komunikasi publik dapat mengiklan di TV. "Saya bisa katakan justru ada kesempatan membesarnya kue iklan bagi industri televisi melalui pengiklan lokal dengan adanya siaran digital ini," pungkas Afgiansyah.
Usaha TV lokal meraup pengiklan lokal juga perlu dibarengi oleh penguatan konten-konten lokal, sehingga mereka memiliki keunikan dibandingkan TV nasional. Konten lokal ini, kata dia, tidak terbatas pada siaran berbahasa daerah saja.
"Bisa juga melibatkan kreator konten lokal atau influencer dalam program TV lokal untuk meraih kepemirsaan di daerahnya," tambahnya.
Adapun jenis kontennya lokal tidak hanya bersifat hiburan saja yang terbatas pada selebgram, youtuber atau tiktoker. TV lokal dapat mengembangkan potensi di daerahnya masing-masing dengan mengajak para tokoh agama lokal yang memiliki pengaruh besar untuk meraih pemirsa.
"Begitu juga konten-konten anak, banyak sekali kita temui kreator konten cilik di media sosial yang cukup populer di daerahnya masing-masing untuk dijadikan talent atau pengisi acara pada program TV lokal dalam meraih pemirsa," tutur Afgiansyah.
ADVERTISEMENT
Pakar Komunikasi Massa dan Digital Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) Yohanes Widodo mengungkapkan perebutan kue iklan tersebut akan semakin ramai bila sistem siaran TV sepenuhnya terdigitalisasi. Menurut Yohanes, akan banyak bermunculan televisi lokal yang sebelumnya kesulitan secara infrastruktur.
"Dengan TV digital dimungkinkan akan banyak TV-TV baru atau channel-channel baru bisa masuk," jelas Yohanes.
Ini menyebabkan kompetisi yang dihadapi TV swasta akan bertambah. Padahal saat ini, mereka juga sudah bersaing dengan media-media sosial yang juga dilirik pengiklan.
"Ke depan, satu kanal bisa diisi 5 kali lipat minimal. Jadi secara kuantitas akan lebih banyak TV-TV baru," lanjutnya.
Adapun transisi ke sistem digital tak serta merta jadi hal mudah bagi para pelaku TV swasta. "Digitalisasi tidak otomatis membuka masa depan yang lebih baik, tapi justru tantangannya makin berat," tandasnya.
ADVERTISEMENT