Uni Eropa Tolak CPO Indonesia, GAPKI Dorong Pemerintah Gugat ke WTO

15 Maret 2019 14:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bendera Uni Eropa. Foto: REUTERS/Francois Lenoir
zoom-in-whitePerbesar
Bendera Uni Eropa. Foto: REUTERS/Francois Lenoir
ADVERTISEMENT
Komisi Eropa memutuskan menghentikan penggunaan minyak kelapa sawit (CPO) sebagai sumber bahan bakar kendaraan. Keputusan ini diambil, setelah Komisi Eropa berkesimpulan bahwa budi daya kelapa sawit mengakibatkan deforestasi berlebihan, sehingga penggunaanya dalam bahan bakar transportasi harus dihapuskan.
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Mukti Sardjono, menilai putusan Komisi Eropa dibuat tanpa memperhatikan kepentingan Indonesia. Padahal, menurutnya CPO merupakan salah satu komoditas yang mampu mensejahterakan masyarakat Indonesia.
Maka, GAPKI pun mendorong pemerintah untuk segera menggugat keputusan Komisi Eropa tersebut ke Badan Perdagangan Dunia atau WTO. "GAPKI akan mendukung pemerintah, termasuk kalau akan diajukan ke WTO," katanya kepada kumparan, Jumat (15/3).
Berdasarkan catatannya, ekspor kelapa sawit Indonesia ke Uni Eropa (UE) tahun 2018 sebesar 4,78 juta ton dari total ekspor sekitar 34 juta ton. Sementara produksi kelapa sawit Indonesia rata-rata setiap tahun sekitar 50 juta ton.
Buruh memanen kelapa sawit di Desa Sukasirna, Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
Oleh karenanya saat disinggung mengenai dampak kebijakan UE akan membuat ekspor Indonesia terhambat. "Lumayan (berdampak). Tapi kan EU beberapa negara. India yang satu negara impornya hampir 7 juta ton," katanya.
ADVERTISEMENT
Dorongan GAPKI kepada pemerintah Indonesia untuk membawa perkara ini ke WTO mirip dengan yang dilakukan oleh Malaysia yang berupaya membatasi impor produk-produk Prancis.
Tindakan balasan (retalisasi) itu merupakan tanggapan atas rencana Prancis menghapus minyak kelapa sawit dari biofuel pada 2020. Biofuel utama adalah biotanol, dibuat dari tanaman gula dan sereal, untuk menggantikan bensin dan biodiesel yang dibuat dari minyak nabati, seperti minyak kelapa sawit, kedelai atau rapseed (canola).
Komisi berkesimpulan bahwa 45 persen dari ekspansi produksi minyak sawit sejak 2008 menyebabkan kerusakan hutan, lahan basah atau lahan gambut, dan pelepasan gas rumah kaca yang dihasilkan. Itu dibandingkan dengan delapan persen untuk kedelai dan satu persen untuk bunga matahari dan rapeseed.
ADVERTISEMENT
"Tentunya Uni Eropa mestinya tidak memaksakan dengan aturan, karena Indonesia adalah negara berdaulat dengan peraturan perundangannya," jelasnya.