Utang Pemerintah Disebut BPK Mengkhawatirkan, DPR Minta Masyarakat Tak Panik

28 Juni 2021 11:01 WIB
·
waktu baca 4 menit
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 13:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi gedung DPR. Foto: Dino Januarsa/Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gedung DPR. Foto: Dino Januarsa/Unsplash
ADVERTISEMENT
Utang pemerintah yang terus meningkat selama tahun lalu disorot Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Bahkan, BPK khawatir mengenai kemampuan membayar utang pemerintah beserta bunganya.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, utang pemerintah di tahun lalu juga melewati batas rasio Dana Moneter Internasional (IMF). IMF sendiri memberikan standar aman untuk rasio utang terhadap penerimaan di kisaran 25-30 persen. Sementara rasio utang terhadap penerimaan Indonesia di tahun lalu 46,77 persen di tahun lalu atau melampaui batas IMF tersebut.
Adapun posisi utang Pemerintah Indonesia pada akhir Mei 2021 mencapai Rp 6.418 triliun, dengan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 40,49 persen.
Meski demikian, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah meminta agar masyarakat tak perlu panik dalam merespons kenaikan utang pemerintah tersebut. Sebab menurutnya, rasio utang ini masih dalam posisi aman, jauh dari batas atas yang digariskan oleh Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu sebesar 60 persen Produk Domestik Bruto (PDB).
ADVERTISEMENT
“Saya kira pemerintah di mana pun tidak akan mau terbelit utang dan mewariskan utang kepada generasi berikutnya hingga menjadi beban yang tidak tertanggungkan," ujar Said kepada kumparan, Senin (28/6).
Dia melanjutkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga telah membuat ketentuan mitigatif, melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 17/KMK.08/2020 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Jangka Menengah Tahun 2020-2024.
Beleid tersebut yang dirujuk oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan dalam menjalankan kebijakan utang pemerintah. Karena itu, kata Said, posisi utang Indonesia ini tidak perlu panik.
Said justru menilai, pernyataan BPK dalam Rapat Paripurna DPR RI soal utang ini baik, namun kurang bijak dalam ikut serta mendorong situasi kondusif dan kerja sama antarlembaga di saat bangsa dan negara menghadap krisis kesehatan dan kontraksi ekonomi.
ADVERTISEMENT
“Sikap ini jauh dari kepatutan dan tidak menjadi teladan yang baik rakyat yang sedang sudah menghadapi pandemi,” katanya.
Dia menilai, antarlembaga dan kementerian hendaknya tidak saling menyerang di muka umum. Sebab, yang dibutuhkan dalam menanggulangi pandemi COVID-19 dan dampak sosial ekonominya yaitu semangat gotong royong. Apalagi, BPK adalah lembaga negara.
Bila ada pertimbangan lain di luar UU, maka bukanlah yang utama dan bukan menjadi acuan BPK menyatakan pendapat untuk dijadikan landasan dalam menilai kinerja subyek pemeriksaan," terangnya.
BPK menurutnya akan lebih bijak bila menemukan berbagai praktik internasional yang baik dalam tata kelola utang pemerintah. "Lebih bijak bila BPK menjadikannya sebagai rekomendasi tambahan yang sifatnya saran kepada pemerintah. Sebab yang utama dari rekomendasi BPK yang bersifat mengikat adalah ketentuan perundang-undangan," kata dia.
ADVERTISEMENT
Said menjelaskan, profil utang pemerintah juga menunjukkan risiko valas yang mengalami tren penurunan. Dari total utang pemerintah pada tahun 2019 sebesar Rp 4.778 triliun, sebesar Rp 1.808,9 triliun (37,8 persen) dalam bentuk valas. Pada tahun 2020, porsi valas naik ke level Rp 2.037 triliun (33,5 persen) dari total utang Rp 6.074,6 triliun.
Anggota DPR RI fraksi PDIP Said Abdullah terpilih sebagai Ketua Badan Anggaran DPR RI beserta empat wakil ketua lainnya di Komplek Parlemen, Jakarta, Rabu (30/10). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Kondisi itu dinilai Said masih dalam koridor Keputusan Menteri Keuangan Nomor 17/KMK.08/2020, yang menetapkan porsi utang pemerintah dalam komposisi valas maksimal 41 persen. Demikian juga Rata-Rata Tertimbang Jatuh Tempo atau Average Time to Maturity (ATM) utang pemerintah menunjukkan tren penurunan.
ATM utang pemerintah pada tahun 2016 di angka 9,1; tahun 2017 di angka 8,7; tahun 2018 di angka 8,4; tahun, 2019 di angka 8,5, dan pada tahun 2020 di angka 8,8 tahun.
ADVERTISEMENT
“Data itu menjelaskan manajemen penerbitan, penjualan, dan jatuh tempo utang pemerintah dijalankan dengan tata kelola yang baik,” kata dia.
Untuk mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan dari utang, pemerintah juga telah menempuh langkah kreatif menggunakan berbagai strategi. Berbagai skema proyek tidak harus bergantung pada APBN.
Pendirian Lembaga Pengelola Investasi (LPI) ditujukan untuk mengurangi ketergantungan pembiayaan program pemerintah dari sumber utang, termasuk juga skema Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dan swasta murni.
Skema lainnya menuntut kinerja BUMN lebih baik, agar deviden BUMN memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan negara. Pemerintah juga telah mengajukan usulan revisi UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) kepada DPR. Dia berharap, ada kompatibilitas antara postur ekonomi nasional dengan sistem perpajakan nasional.
ADVERTISEMENT
“Dampaknya rasio pajak akan meningkat, kompatibel dengan peningkatan perekonomian nasional. Langkah ini sebagai jalan untuk mengurangi gap dan ketertinggalan antara rasio pajak terhadap PDB dengan rasio utang terhadap PDB. Sehingga Debt to Income Ratio (DTI) kita makin kuat,” pungkas Said.