Utang Pemerintah RI Dinilai Mengkhawatirkan, Apa yang Terjadi Jika Gagal Bayar?

23 Juni 2021 15:17 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 14:10 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas melayani penukaran uang dolar Amerika di salah satu gerai penukaran valuta asing, Jakarta. Foto: Antara/Puspa Perwitasari
zoom-in-whitePerbesar
Petugas melayani penukaran uang dolar Amerika di salah satu gerai penukaran valuta asing, Jakarta. Foto: Antara/Puspa Perwitasari
ADVERTISEMENT
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyoroti kenaikan utang pemerintah. Bahkan BPK juga mengkhawatirkan kemampuan pemerintah membayar utang beserta bunganya.
ADVERTISEMENT
Selama tahun lalu, realisasi pembiayaan mencapai Rp 1.193,29 triliun. Angka ini mencapai 125,91 persen dari nilai defisit yang sebesar Rp 947,70 triliun.
BPK juga mengungkapkan bahwa rasio utang tahun 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan Dana Moneter Internasional (IMF) maupun International Debt Relief (IDR). Rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35 persen.
Selanjutnya, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen, juga melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7-19 persen. Serta rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen.
Ilustrasi uang dolar. Foto: Aditia Noviansyah
Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI, Teuku Riefky, menilai bahwa utang pemerintah masih aman dan terus dijaga secara hati-hati. Meski demikian, risiko masih bisa terjadi.
ADVERTISEMENT
"Kalau ini enggak bisa dijaga, bisa berubah dinamikanya. Makanya penting untuk ditekankan bahwa utang ini kan sifatnya jangka menengah-panjang, jadi harus dijaga sekali pengelolaannya," ujar Riefky kepada kumparan, Rabu (23/6).
Dia melanjutkan, setiap negara yang berutang tentunya memiliki risiko gagal bayar. Seberapa besar risiko tersebut, tergantung dari pengelolaan pemerintah.
Dalam skenario terburuk jika pemerintah mengalami risiko gagal bayar, maka krisis keuangan seperti tahun 1997-1998 bisa terjadi. Situasi perekonomian juga akan semakin sulit. Dana asing yang keluar bisa semakin bertambah.
Namun, saat ini Bank Dunia maupun IMF juga sudah memiliki sejumlah program agar negara tak mengalami gagal bayar. Contohnya adalah Debt Service Suspension Initiative (DSSI) yang diinisiasi Bank Dunia.
Negara yang masuk DSSI ini mendapatkan fasilitas untuk menunda pembayaran utangnya, baik kepada Bank Dunia maupun negara lain. Ada 73 negara yang masuk dalam program DSSI ini. Indonesia sendiri tak termasuk karena dinilai masih memiliki kemampuan untuk bayar utang.
ADVERTISEMENT
Karyawan menghitung uang dolar Amerika Serikat (AS) di tempat penukaran valuta asing, Jakarta, Rabu (6/1). Foto: Fakhri Hermansyah/ANTARA FOTO
Untuk Indonesia, kata Riefky, risiko gagal bayar juga masih sangat kecil. Adapun utang saat ini paling banyak didominasi oleh mata uang rupiah dan jangka panjang.
"Dalam jangka panjang ini kemampuan membayarnya juga jauh lebih baik. Saat ini sudah ada Omnibus Law Cipta Kerja, SWF sudah di set-up, ke depan akan ada lagi Omnibus Law sektor keuangan, jadi ini meningkatkan produktivitas dan kapasitas produksi Indonesia," katanya.
"Saya confident karena utang jangka panjang, kondisi kemampuan bayar utang sudah lebih baik, kita tidak akan mengalami gagal bayar, sangat kecil sekali kemungkinannya," tambahnya.

Kasus Yunani

Indonesia perlu mengambil pelajaran berharga dari Yunani. Negara itu dinyatakan mengalami gagal bayar pada tahun 2015, karena tak mampu melunasi utangnya kepada IMF senilai USD 1,7 miliar.
ADVERTISEMENT
Pada 2000-2009, Yunani menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan tertinggi di Kawasan Uni Eropa. Pertumbuhannya rata-rata mencapai 4 persen per tahun, jauh lebih tinggi dari negara kawasan sebesar 2 persen.
Sayangnya, pertumbuhan yang tinggi itu didorong oleh konsumsi yang sifatnya jangka pendek dan tak berkesinambungan, yakni dari kenaikan gaji pegawai yang signifikan. Sementara penerimaan negaranya justru mandek, karena hanya mengandalkan wisata.
Seorang gadis membawa makanan ringan saat melintasi genangan air di daerah kumuh saat krisis virus Corona di Jakarta. Foto: REUTERS / Ajeng Dinar Ulfiana
Pada Desember 2009, peringkat utang Yunani turun dari A- menjadi BBB+. Selama sepekan, sejumlah lembaga pemeringkat juga menurunkan peringkat kreditnya terhadap Yunani karena khawatir pemulihan ekonomi tidak berjalan dengan baik.
Akibat hal tersebut, investor pun berbondong-bondong menarik dananya dari Yunani. Surat utang negara itu menjadi sangat murah, sehingga investor meminta imbal hasil yang sangat tinggi.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, akibat gagal bayar tersebut Yunani tak memiliki dana untuk membayar bantuan sosial kepada rakyatnya, uang pensiun, hingga tak bisa lagi melanjutkan pembangunan.
Saat ini, kondisi perekonomian Yunani juga diperparah pandemi COVID-19. Namun, Komisi Eropa memberikan sejumlah bantuan kepada Yunani untuk bisa melakukan pengurangan utang.