Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Wacana Jenderal Tentara Berkarier di Kantor Pemerintahan
8 Februari 2019 7:30 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:05 WIB
ADVERTISEMENT
Saat ini sedang bergulir restrukturisasi organisasi TNI yang merencanakan jabatan sipil bisa diisi oleh tentara aktif. Artinya, jenderal-jenderal bisa masuk kementerian dan lembaga.
Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB) Syafruddin mengatakan rencana restrukturisasi tersebut sudah dibahas oleh beberapa institusi pemerintah.
"Sudah diproses, sudah dalam pembahasan antara Kementerian Pertahanan, Mabes TNI, MenPAN RB dan Mensesneg, sudah on process," kata Syafruddin di Kantor Wakil Presiden, Jakarta Pusat, Kamis (7/1).
Meski begitu, hal itu tidak langsung lantas berjalan mulus. Pasalnya, ada pro dan kontra yang meliputinya. Berikut kumparan merangkum serba-serbi menyangkut hal itu:
1. Kementerian PAN RB Klaim Tak Ada Dwifungsi TNI atau Polri
Syafruddin menegaskan masuknya TNI atau Polri ke instansi sipil tidak ada kaitannya dengan dwifungsi TNI atau Polri.
Maka, perwira TNI dan Polri dapat mengisi sejumlah posisi di lembaga sipil maupun kementerian.
"Sesuai dengan UU yang mengatur. Ada 15 kementerian lembaga, TNI dan Polri bisa antara lain Menko Polhukam, Menhan, Lemhannas, BNPB yang baru kemarin (Letjen Doni Monardo-Red), BNN, BNPT, BSSN, kemudian ada 15 kementerian lembaga yang sesuai dengan UU TNI, UU Polri, boleh menempatkan pejabat TNI dan Polri di kementerian atau lembaga," jelas Syafruddin.
"Tidak ada (dwifungsi). Karena itu berdasarkan undang-undang. Undang-undangnya sudah lama," ujar Syafruddin.
2. Awalnya TNI Hanya Dapat Menduduki Jabatan di Pemerintahan Setelah Resign Atau Pensiun
Dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), dijelaskan prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Dalam pasal tersebut juga dijelaskan prajurit TNI bisa menduduki jabatan beberapa instansi tertentu. Yakni, kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
Namun, Pada Kamis (3/1) lalu, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menyebut ada rencana revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 Pasal 47. Hal tersebut bertujuan agar TNI aktif bisa menduduki jabatan setingkat eselon 2 hingga eselon 1 di kementerian atau lembaga pemerintah.
3. TNI Masuk ke Kementerian atau Lembaga yang Masih Terkait
Restrukturisasi TNI itu bukannya tak menimbulkan kekhawatiran. Utamanya menyangkut pengisian jabatan sipil oleh tentara aktif.
Untuk itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyebut bahwa perwira TNI yang masih aktif menjadi prajurit bisa mengisi jabatan lembaga sipil di luar institusi TNI. Namun dengan syarat, tugas yang diemban di lembaga tersebut masih ada kaitannya dengan tugas TNI.
Misalnya saja, BNPB, Basarnas, hingga Bakamla.
Ia mencontohkan Letjen TNI AD Doni Monardo yang baru-baru ini dilantik menjadi Kepala BNPB. Doni, menurut JK, bisa saja jadi Kepala BNPB karena dianggap tugas-tugasnya dekat dengan TNI dan memiliki pengalaman di dalamnya.
"Karena itulah TNI aktif boleh. Tapi kalau tugas-tugas yang tak berhimpitan dengan TNI, tentu tidak diperbolehkan. Contoh yang boleh itu Bakamla atau Basarnas. Hampir semua jika terjadi masalah SAR, itu yang dikerahkan tentara. Karena itu Basarnas boleh dijabat oleh perwira," jelas JK di Kantor Wakil Presiden Jakarta Pusat, Rabu (6/1).
4. Tentara Aktif Tempati Jabatan Sipil Dinilai Kembalikan Otoritarian TNI
Ketua Imparsial Al Araf, rencana reorganisasi dan restrukturisasi TNI melalui revisi UU TNI bisa menyebabkan kembalinya dwifungsi ABRI (sosial-politik). Menurutnya, penempatan militer aktif pada jabatan sipil tidak tepat dan bertentangan dengan agenda reformasi TNI.
“Penempatan militer di jabatan sipil tentu sama mengembalikan otoritarian TNI. Padahal itu sudah dihapus. Sama saja dengan mundur ke belakang. Apalagi sampai ke level revisi undang-undang TNI," ujar Al Araf.
Ia melanjutkan, kebijakan itu juga menyebabkan munculnya deviasi, penggunaan TNI tidak sesuai fungsinya, seperti untuk peningkatan elektoral.
ADVERTISEMENT
“Restrukturisasi bukan berarti memperkuat teritorial. Sepantasnya organisasi TNI lebih menambah kekuatan dan kualitas personel seperti Kostrad,” katanya.
Hal senada juga disampaikan Koordinator Peneliti Imparsial Ardi Manto.
Dia menilai, kebijakan tersebut mengembalikan fungsi kejayaan TNI yang berpijak pada doktrin dwifungsi ABRI yang sudah dihapus sejak reformasi 1998.
Di sisi lain, reformasi TNI mensyaratkan militer tidak lagi berpolitik dan salah satu cerminnya adalah militer aktif tidak lagi menduduki jabatan sipil.
“Sejak UU TNI disahkan, militer aktif hanya menduduki jabatan terkait fungsi pertahanan seperti Kemenkumham. Dalam konteks itu, rencana perluasan ini perlu dikaji,” kata Gufron Mabruri, Wakil Direktur Imparsial.
5. Reorganisasi TNI Dinilai Tak Menguntungkan Jokowi Secara Elektoral
Ketua Imparsial Al Araf juga menilai restrukturisasi dan reorganisasi TNI perlu dikaji secara mendalam. Kebijakan menempatkan militer di sipil serta memperpanjang usia pensiun itu, kata dia, bisa menimbulkan sentimen negatif masyarakat terhadap Jokowi selaku yang mengesahkan revisi UU TNI tersebut.
“Kalau presiden menyetujui militer menduduki jabatan sipil, revisi UU TNI, pasti masyarakat menolak karena itu kemunduran reformasi, kalau terkait jabatan sipil. Jadi enggak menguntungkan buat Jokowi,” ujar Al Araf.
ADVERTISEMENT