Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.7
25 Ramadhan 1446 HSelasa, 25 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45

ADVERTISEMENT
Indeks utama saham Amerika Serikat (AS) atau Wall Street kembali mengalami tekanan pada Kamis (13/3), setelah Presiden Donald Trump mengancam akan memberlakukan tarif hingga 200 persen terhadap minuman alkohol impor dari Eropa.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari Reuters, Jumat (14/3), Industri Dow Jones (.DJI) turun 399,18 poin atau 0,97 persen menjadi 40.951,75. S&P 500 (.SPX) turun 51,21 poin atau 0,91 persen ke level 5.548,09, dan Nasdaq Composite (.IXIC) melemah 231,66 poin atau 1,31 persen ke posisi 17.416,79.
Ancaman tarif terbaru Trump itu merupakan tambahan dari daftar panjang yang akan diterapkan jika Uni Eropa tidak mencabut bea tambahan terhadap minuman wiski AS. Hal ini disampaikan setelah tarif baru atas seluruh impor baja dan aluminium AS mulai berlaku pada hari Rabu.
Ancaman tersebut tentu menambah kekhawatiran investor terhadap memburuknya hubungan dagang global yang berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi.
Padahal, data inflasi yang dirilis pada hari yang sama sebenarnya memberikan sinyal positif. Indeks Harga Konsumen dari Tenaga Kerja AS menunjukkan bahwa harga produsen pada Februari tidak mengalami perubahan, sementara harga konsumen meningkat lebih lambat dari perkiraan. Namun, pasar lebih fokus pada ancaman perang dagang.
ADVERTISEMENT
“Seandainya tidak ada perang dagang, pasar kemungkinan besar akan naik karena data inflasi hari ini,” ujar Tim Ghriskey, Senior Portfolio Strategist di Ingalls & Snyder.
“Pemerintahan AS tampaknya sangat agresif dan berencana bertahan dalam jangka panjang. Tidak terlihat tanda-tanda mereka akan mundur dalam waktu dekat," tambahnya.
Bill Adams, Kepala Ekonom Comerica Bank, menulis dalam catatan riset bahwa prospek inflasi kini lebih dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah seperti tarif, deportasi, dan langkah-langkah dari Departemen Efisiensi Pemerintah dibanding oleh data-data ekonomi yang bersifat retrospektif.
Kekhawatiran investor juga tercermin pada turunnya imbal hasil obligasi AS. Yield obligasi 10 tahun AS turun 3,6 basis poin menjadi 4,28 persen, sementara obligasi 2 tahun turun 4,2 basis poin menjadi 3,95 persen. Hal tersebut menunjukkan meningkatnya minat investor terhadap aset aman di tengah ketidakpastian ekonomi global.
ADVERTISEMENT