Wamen ESDM Bantah Royalti Nikel Naik Jadi 15 Persen

24 Januari 2025 14:08 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lokasi kawasan smelter nikel terintegrasi Harita Group di Pulau Obi, Maluku Utara. Foto: Angga Sukmawijaya/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Lokasi kawasan smelter nikel terintegrasi Harita Group di Pulau Obi, Maluku Utara. Foto: Angga Sukmawijaya/kumparan
ADVERTISEMENT
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung menegaskan tidak ada kenaikan royalti nikel dari 10 persen menjadi 15 persen. Kabar royalti nikel ini sebelumnya dikhawatirkan oleh Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI).
ADVERTISEMENT
“Kayaknya tidak ada kenaikan,” ucap Yuliot ketika ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, dikutip dari Antara, Jumat (24/1)
Selain Yuliot, Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Julian Ambassadur Shiddiq mengaku belum mendengar perihal kenaikan royalti nikel dari 10 persen menjadi 15 persen.
“Saya belum dapat infonya, karena enggak di saya. Saya tidak ikut, jadi belum tahu,” ucap Julian ketika ditemui setelah menghadiri rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR, di Jakarta, Kamis (23/1).
Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung di kantor Kementerian ESDM, Jumat (3/1/2025). Foto: Fariza Rizky Ananda/kumparan
Pernyataan tersebut disampaikan ketika merespons pernyataan Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey yang mengungkap kabar soal kenaikan royalti nikel dari 10 persen menjadi 15 persen.
Kabar tersebut disampaikan oleh Meidy dalam rapat bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR RI ketika membahas ihwal Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba) di Jakarta, Rabu (22/1).
ADVERTISEMENT
“Kemarin kami dapat isu lagi, royalti yang tadi saya sebut 10 persen akan naik 15 persen,” kata Meidy.
Menurut dia, kenaikan royalti tersebut akan memberatkan para penambang nikel. Selain itu, kebijakan devisa hasil ekspor (DHE) sebesar 100 persen juga dirasa memberatkan para penambang nikel.
Meidy menyampaikan, biaya produksi yang semakin tinggi dan harga nikel yang semakin turun menyebabkan penambang nikel tidak mau produksi.
“Tambang yang dapat RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya) enggak mau produksi. Kenapa? Karena biaya produksi naik, tetapi penjualannya semakin turun,” kata dia.